Apakah Akan Sama?

16 1 0
                                    

Sudah kubilang, bukan? Takdirku sangatlah monoton dan membosankan.

Beberapa orang percaya, balas dendam merupakan cara yang paling ampuh untuk pemuasan diri. Tapi ada juga yang tidak percaya dengan pendapat itu. Sebut saja aku, kenapa? Aku percaya hal konyol seperti itu hanya akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Seperti halnya diriku di ESN II. Beberapa hal telah kualami selama aku menuntut ilmu di sekolah ini, baik hal baik maupun hal buruk. Meskipun tentu saja hal buruk lebih mendominasi.

“Selangkah lagi, saya sudah keluar dari sekolah ini”

Aku berkata demikian ketika pulang sekolah. Saat itu aku ditegur oleh guru piket karena aku memakai jaket di dalam lingkungan sekolah. Guru piket pasti berpikir aku berkata begitu karena aku hanya terpaut satu meter dari gerbang sekolah. Tapi bukan itu makna sebenarnya dalam perkataanku. Aku memiliki makna tersendiri dalam perkataanku tadi. Ya, langkah terakhirku dalam sekolah ini dan puncaknya adalah hari ini.

Benar sekali, hari ini. 19 Juni 2014. Semua berpikir jika hari ini akan terjadi sebuah pentas seni dari kelas VII-I untuk perpisahan kelas IX. Tapi seperti yang sudah kukatakan sebelumnya. Aku selalu memiliki makna tersendiri dalam pemikiranku. Pembaca masih ingatkah ambisiku sehingga aku memilih bertahan disekolah ini?  Ya, hal itu sudah di depan mata. Persyarat-syaratan untuk bisa memakai seragam EPN IV sudah berada didalam genggamanku. Tidak ada yang mengetahui hal ini selain aku dan ayahku.  Yah jadi, aku anggap acara ini sebagai hadiah perpisahan yang manis dariku.

***

“Baiklah kawan-kawanku. Tentu kalian sudah tahu apa yang akan terjadi hari ini. Hari ini adalah pembuktian potensi kelas kita di ESN II ini.” Itulah kata-kataku sebagai sambutan pertama pada “kawan-kawanku”. Seharusnya jika orang memberikan sambutan seperti tadi, otomatis mereka harus menggunakan nada yang semangat dan ceria atau minimalnya sebuah senyuman hangat terukir diwajahnya. Tetapi pengecualian untukku. Aku berbicara dengan nada baritone dan wajah tanpa ekspresiku seperti biasa.

Tentunya jika seseorang melihatku menyapa seperti tadi, mereka pasti langsung berpendapat jika aku tidak bersemangat dengan acara ini. Tapi aku berani mengatakan jika mereka salah besar. Bahkan aku sudah merencanakan acara ini sejak pertama kali aku menginjakan kaki di sekolah ini. Otomatis dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku merasa sangat bersemangat dengan acara ini.

Cukup bermonolog rianya. Mari kita membicarakan sekelompok orang yang harusnya menjadi lawan bicaraku saat ini. Sebut saja dua orang pasangan yang masih saja sibuk dengan aura lovey-dovey-nya. Saat ini aku hanya bisa menganggap orang yang berasal dari kaum hawa –Karin, itu sebagai “Frenemy” -ku hingga sekarang. Kecuali dengan orang itu yang sudah ditetapkan sebagai antagonis utamaku di sini. Mungkin kalian bertanya kenapa dua orang itu bisa berada diruangan briefing untuk acara ini? Sebagai ketua panitia dengan jabatan tertinggi, aku memiliki wewenang penuh untuk menentukan seksi-seksi untuk acara ini. Tapi seperti yang sudah kukatakan dalam paragraf pertama. Aku harus bersikap senetral mungkin. Aku melihat mereka memiliki potensi yang sangat besar untuk acara hari ini. Jadi sejenak aku mengenyahkan perasaan pribadiku sejauh mata memandang untuk kelancaran acara ini.

Selain mereka, ada juga Stephen dan Ethan yang sedang sibuk dengan dunianya masing-masing. Contohnya mereka membicarakan game MMORPG terbaru atau final Liga Champions yang dimenangkan Real Madrid sehingga mendapat La Decima. Yang tentu saja sama sekali tidak kumengerti. Selain mereka, ada juga Celine yang sedang sibuk dengan musik di earphone-nya. Atau Olivier yang sedang sibuk berjejaring social dismartphone BlackBerry Z10 miliknya. Oh, jangan lupakan juga kedua wartawan koran freak ini –kalau tak salah, namanya Indira dan Adira, yang menurutku mereka hanya membuat waktu mereka yang berharga. Padahal acaranya akan berlangsung beberapa jam lagi.

Emptiness & NihilismTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang