Dua | Arah Melangkah

1 0 0
                                    

Sepasang mata Altheya terpejam. Memanfaatkan dua jam mata pelajaran yang kosong (diberitahukan bahwa guru pengampu mata pelajaran yang bersangkutan tengah mengurus keperluan administrasi sekolah, dan murid-murid di kelasnya menganggap kejadian ini merupakan satu dari beberapa kejadian luar biasa yang pernah ada), di dalam tempurung kepala Altheya terangkai petunjuk-petunjuk kecil yang mengerucut pada pertanyaan;

"Lah hidup gue bergenre fantasi?!"

Pekikan kecil Altheya membuat cowok dengan mata sipit yang duduk di bangku depannya kontan memutar tubuh kebelakang.

"Fanta apa, Tey?"

"Seprit kali," dengan suaranya yang berat, cowok yang duduk di samping cowok sipit turut menyeletuk tanpa mengalihkan perhatian dari ponsel di genggamannya.

"Seprit, nyatanya nyegerin," celetukan kali ini bukan berasal dari cowok tinggi maupun cowok sipit yang nama-namanya belum terketahui dan masih menjadi misteri bagi Altheya, tapi Janapati.

Janapati tau-tau muncul dari belakang, telapak tangannya menepuk-nepuk puncak kepala Altheya yang membuat sang empu mendongak.

Altheya mengangkat alis, bertanya atas tepukan yang mendarat. Dan alih-alih memberikan jawaban, Janapati justru turut serta mengangkat alisnya. "Lah kagak ngantin lu?"

"Kuy, Tey." Muncul cowok lain. Sepersekian detik Altheya berhasil dibuat terpana, tampan sekali, mengingatkan Altheya pada karakter manga.

"Lah belum jam istirahat." Setelah pekikannya tadi, ini kali pertama Altheya memiliki kesempatan untuk kembali mengeluarkan suara.

"He lu nggak sempet sarapan kan tadi pagi," Janapati melotot kecil.

"Kan udah makan roti," Altheya balas melotot. Ia benar-benar tidak ingin melakukan apa-apa sekarang, tidak mengisi perut di kantin, tidak pula menanggapi kicauan cowok-cowok di sekelilingnya ini. Otaknya hampir meledak menampung banyak pertanyaan yang bercokol, jadi Altheya hanya ingin cowok-cowok ini menjauh setidaknya 2 meter dari tempat duduknya sehingga tidak ada hal-hal dari luar yang mendistraksinya dan ia dapat berpikir sedikit lebih jernih.

Tapi, seakan tidak mengijinkan kedamaian menyelimuti Altheya barang sejenak saja, bukannya menghilang, cowok-cowok ini justru bertambah banyak, kompak berkumpul mengitari bangkunya, membuat Altheya diserang kebingungan.

Buset ini kenapa pada ke sini semua dah?!

Pasang mata Altheya tanpa sengaja jatuh pada cowok dengan wajah kebule-bulean tapi sepertinya tidak bule. Dilihat-lihat, wajahnya lumayan mirip Leonardo DiCaprio semasa muda. "Ngapain, Tey?"

Altheya kontan mendelik.

YA DUDUK LO NGGAK LIAT APA?

"Kalian yang ngapain?"

Tunggu-tunggu.

Altheya baru menyadari sesuatu.

Ia tidak pernah merasa seleluasa ini dengan orang-orang; dapat membalas kalimat orang lain tanpa melakukan pertimbangan di dalam benaknya, terlebih lagi gerombolan cowok ini merupakan orang-orang yang sama sekali asing.

Satu hal lagi, pagi tadi ketika bersama Janapati dan sekarang ketika duduk berkeliling cowok-cowok ini, Altheya tidak sedikitpun ketakutan, sama sekali tidak ada cemas yang membayangi hatinya, bahkan membalas tatapan mereka pun Altheya sanggup. Padahal, sekali lagi, gerombolan cowok ini adalah orang-orang asing bagi Altheya.

Wah bisa gitu ya?

Kok gitu?

"Altheya."

"Ya?" Dikarenakan indra pendengarannya tidak mampu menunjuk arah datangnya suara, Altheya mendongak ke sembarang arah.

"Ayo kantin, perutnya Jagara udah nabok gendang tuh," ucap si suara berat.

Finding TreasureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang