Prolog

174 20 1
                                    

Happy reading!

***

Rain, gadis kecil yang memiliki kekurangan tidak bisa bicara sejak lahir. Rain masih berumur tujuh tahun, dia tidak pernah merasakan sedikitpun kasih sayang dari kedua orang tuanya. Meskipun begitu, Rain tetap menyayangi mereka dan tetap menganggap mereka sebagai orang tuanya.

Setiap harinya dia hanya bisa mendekam di dalam kamarnya seraya mendengar sahutan-sahutan yang orang tuanya keluarkan. Bahkan kata-kata yang tidak pantas untuk dikeluarkan pun dia mendengarnya.

Seperti saat ini, Rain terduduk bersender di pintu kamarnya dengan kedua kakinya yang terlipat dan kedua tangan mungilnya yang setia menutup kedua telinganya, tidak lupa juga dengan air mata yang keluar dari pelupuk matanya.

Tubuhnya bergetar hebat karena takut, teriakan demi teriakan masih terdengar di luar. Suara itu sangat keras hingga memekakkan telinga. Para tetangga tidak pernah sekalipun mendengar teriakan itu karena jarak rumahnya lumayan jauh dari rumah-rumah tetangga. Oleh karena itu, para tetangga mengira keluarga mereka baik-baik saja dan terlihat harmonis.

Gemericik air hujan datang menyambut Rain, matanya menatap rintikan air hujan itu. Ingin sekali dia keluar dari rumah dan bermain dengan hujan. Namun tidak bisa, kedua orang tuanya masih bertengkar di bawah. Jika dia ingin keluar, otomatis dia harus melewati ruangan itu.

Dia tidak bisa, dia takut jika kejadian itu terulang lagi. Lebih baik dia tetap di sini. Menatap air hujan dari jendela kamarnya saja sudah cukup.

Rain tersenyum kecil ketika melihat ada beberapa anak seusianya yang sedang bermain hujan dengan senyum lebar terlukis di wajah mereka di bawah sana. Berlari ke sana dan kemari seperti tidak memiliki beban.

Rain terpekik kaget ketika melihat seseorang dari mereka terpeleset dan terjatuh. Namun, tidak lama anak itu kembali bangun dan tertawa lebar lagi. Rain yang melihat itu pun kembali ikut tersenyum.

"Pokoknya kita harus bercerai!"

Rain kembali terperanjat, dia memegang dadanya yang berdegub kencang karena terkejut. Kalimat itu lagi, Rain tidak tahu apa yang sebenarnya mereka ributkan. Kata 'cerai'. Kata itu terus saja mereka ucapkan. Rain tidak tahu apa itu 'cerai'. Rain begitu polos, Rain tidak tahu apa-apa. Dia tidak mengerti dengan semua yang didengar dari ucapan kedua orang tuanya.

Rain tidak mendengar kembali sebuah teriakan, hening. Mungkin mereka telah lelah untuk berteriak kembali. Rain berjalan kecil menghampiri pintu, mengecek apakah benar di bawah sana mereka sudah tidak bertengkar lagi.

Brak!
Pintu kamar Rain terbuka dengan keras, dada Rain kembali berdegub kencang. Apalagi saat pintu itu terbuka, yang terlihat adalah sosok Aris-papanya.

Rain bergetar hebat, kakinya terasa lemas. Kenapa papanya masuk ke dalam kamarnya? Rain masih berdiri kaku di tempat, menatap wajah papanya yang menampakkan raut murka. Rain kembali terlonjak kaget ketika menatap sebuah benda yang ada di tangan kanan papanya. Ya, sebuah botol minuman keras. Aris berjalan mendekati Rain yang sedang merasakan takut yang sangat hebat.

Rasa takutnya semakin besar, Aris tidak menghiraukan racauan tidak jelas dari mulut Rain. Mungkin kini dirinya sedang mabuk sekarang, jalannya sedikit sempoyongan tapi tetap bisa berjalan lurus. Kini papanya telah ada tepat di depannya, menatapnya dengan tatapan tajam.

Bugh!
Pukulan keras mengenai Rain hingga dia terpental dan terjatuh. Hidung Rain sudah mengeluarkan darah segar. Tubuh mungilnya sudah lemas, dia tidak kuat untuk berdiri.

"Bangun kamu!" perintah Aris berteriak seraya menampilkan wajah murkanya. Rain hanya diam, tidak bisa. Badannya sangat lemas. "Cepat bangun!"

Rain berusaha untuk bangun, takut jika papanya bertambah marah padanya. Namun tetap saja, dia tidak bisa. Badannya benar-benar sangat lemas sekarang.

Aris menggeram marah, dia mendekati Rain yang masih terbujur lemas di atas lantai.

"Bangun sialan!" Aris mencengkeram tangan kecil Rain dengan kasar dan melempar Rain dengan keras hingga punggungnya membentur dinding.

"Dasar cengeng, air matamu tidak akan bisa membuatku merasa bersimpati padamu dan menerimamu sebagai anakku!" teriak Aris lagi lebih keras.

Rain sudah terisak sedari tadi, dia tidak kuat dengan bentakkan papanya. Rain masih kecil, tapi dia sudah mendapatkan perlakuan seperti ini dari papanya.

"Kamu itu tidak pantas menjadi seorang anak, saya tidak ingin mempunyai seorang anak bisu seperti kamu!" Tawa keras yang sangat mengerikan keluar dari mulut Aris dan membuat Rain semakin takut dan terisak.

Aris kembali menenggak minuman keras itu sampai habis, kemudian dia melayangkan botol kaca yang kosong itu tepat di atas kepala Rain.

Crak!
Botol itu pecah, serpihan kacanya berserakan ke mana-mana. Darah segar keluar dari pelipis Rain. Coba kalian bayangkan seperti apa rasa sakit yang dirasakan oleh Rain.

"Mati saja kamu dasar sialan!"

Aris tertawa puas ketika melihat kondisi Rain yang sudah terbaring lemah di atas lantai. Kondisi Rain sangat buruk, dia harus segera dibawa ke rumah sakit secepatnya. Namun itu mustahil, kedua orang tuanya bahkan sangat tidak peduli dengan kondisinya sekarang.

Aris menendang punggung Rain dengan sangat keras, kemudian dia berjalan keluar dari kamar Rain dengan tawa puasnya. Air mata Rain turun dengan sendirinya, dia menangis. Rain, gadis kecil bisu yang sangat menderita. Namun, senyum manisnya selalu dia tampakkan pada semua orang, seperti tidak terjadi apa-apa padanya.

Kini, bocah kecil itu terbaring lemah tidak berdaya di atas dinginnya lantai. Dengan darah yang keluar dari beberapa bagian tubuhnya. Rain, bocah kecil yang malang. Dia menatap ke arah pintu kamarnya yang sudah tertutup dan akhirnya dia memejamkan matanya.

***

Ig : taa.fn28

Rain (REVISI) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang