Prolog

232 43 18
                                    

Pria itu memutar-mutar sesuatu di tangannya. Bentuknya seperti benang-benang ungu dan biru menyala yang membentuk bola berdiameter lima belas senti, tidak padat, tapi partikelnya lebih rapat dari gas. Saat telapak tangannya menyentuh permukaan benda itu, cahaya kebiruan berpendar dari sela-sela jarinya, tidak cukup besar untuk menerangi seisi ruangan yang gelap, tapi cukup untuk membuatnya dapat melihat jelas raut gelisah di wajah terpoles sempurna yang berdiri di depannya.

"Apa kau yakin, Murriel?" tanya Sang Raja kedua kalinya. Rambut putih panjang yang diselipkan rapi di belakang telinga berujung runcingnya sekali tidak membuat Raja terlihat seperti peri yang telah melewati ratusan dekade, yang biasanya sudah menumbuhkan janggut panjang dan bersuara serak. Sebaliknya, pahatan wajah sang Raja sama persis dengan ketika ia pertama kali menaiki takhta--entah sudah berapa lama, bahkan Murriel tidak ingat--dan pita suaranya yang dalam masih bekerja sama baiknya.

Kehangatan dalam nyala bola yang Murriel pegang mulai menjalar ke sebagian besar tubuhnya. Murriel tahu,  pertanyaan kedua dari rajanya tidak boleh dijawab dengan salah. Raja akan memaafkanmu sekali, tapi tidak pernah ada kesempatan kedua. Sebenarnya Murriel tidak ingin melakukan ini, tapi tidak memberitahu pada Raja sama buruknya dengan menyampaikan informasi yang salah.

Murriel sangat menghormati Raja, barangkali sepuluh kali lipat lebih besar dari para tangan kanan dan Kesatria yang bertugas untuknya. Sebagai penasehat Raja selama ratusan tahun ini, dia belum pernah sekali pun mengecewakannya. Dan dia sungguh-sungguh tidak ingin sebuah ramalan keliru menghancurkan segalanya.

Di sisi lain, dia cukup percaya diri dan yakin penglihatannya tidak salah. Murriel bermimpi seminggu sekali, dan setiap mimpi itu selalu memiliki arti. Dia sudah mencegah banyak hal buruk terjadi. Tapi tidak ada yang lebih buruk dari yang dia lihat dalam dua bulan terakhir ini.

Usia lanjut menumpulkan pikiran tajam Murriel, sehingga dia terkadang kesulitan menangkap maksud dari gambaran-gambaran yang didapatkannya. Ada beberapa petunjuk yang sudah dia utarakan pada Sang Raja, kemudian diakhiri dengan kesimpulan yang sudah dia susun dengan hati-hati.

Reaksi Raja yang terlihat tidak ingin mempercayai Murriel agak melukai hatinya. Tapi Murriel tidak bisa membantah saat Raja memaksanya ke Ruang Ramalan dan memastikannya sekali lagi.

Dengan gemetaran, Murriel melepas bola biru itu hingga melayang stabil di atas bantalan yang tersusun rapi di rak, kemudian menyentuh bola lain dengan warna biru yang lebih muda dan berkonsentrasi lagi. Setiap bola itu menyimpan memori mimpinya bagai kepingan puzzle, dan butuh waktu untuk menyusun beberapa potongan petunjuk menjadi sebuah ramalan yang utuh dan akurat. Semua gambar yang dia lihat di kepalanya tidak berubah, begitu pula dengan perasaannya. Sekali lagi, Murriel mengangguk.

"Tapi kukira aku sudah menyelesaikannya!" teriakan Sang Raja bergema. Murriel memalingkan pandangan dari mata murka rajanya, berkali-kali membatin dan mengingatkan diri bahwa kemarahan itu tidak ditujukan padanya.

Murriel menunggu beberapa saat sampai Sang Raja mengontrol emosinya. Dia bersyukur karena Ruang Ramalan dirancang dengan cahaya remang semi gelap, karena setiap Raja masuk ke ruangan ini, suasana hatinya tidak pernah bagus, dan setampan apa pun Sang Raja, wajah orang murka tidak enak dilihat. Dilihatnya siluet Raja yang mondar-mandir di antara rak, kemudian berbalik menghadapnya.

"Aku tidak bisa meminta bantuan Peri Kegelapan lagi," geleng Sang Raja frustrasi. Murriel paham, dia ingat bagaimana hal itu terjadi sehingga Sang Raja harus rela kehilangan sebagian kekuatannya. Hal yang begitu diaibkan oleh Sang Raja sehingga dia harus berpura-pura menghilang berhari-hari untuk berburu, padahal yang dia lakukan adalah beristirahat total karena fisik yang melemah.

"Benar, Yang Mulia," kata Murriel. "Terlebih lagi, Peri Kegelapan sudah wafat bertahun-tahun yang lalu. Akhirnya saya dapat melihatnya."

Kedua mata Sang Raja membulat di bawah sinar redup bola-bola kristal warna warni. Dia pasti sudah menduganya, tapi tidak menyangka secepat ini. Biarpun begitu, tidak ada kemajuan pada suasana hatinya. "Jadi, menurutmu apa kita benar-benar harus melakukan seperti yang kau ajukan sebelumnya?"

Inilah saatnya.

"Dengan segala hormat, Yang Mulia," katanya dengan suara rendah, "saya selalu memikirkan hal terbaik untuk Anda dan Elfaerian. Dan saya harus mengatakan bahwa itu adalah satu-satunya cara."

Detik-detik keheningan bersama Sang Raja adalah hal paling mencekam dalam hidupnya, walau dia sudah mengalaminya ribuan kali. Sang Raja hanya melangkah ke luar rak, sehingga mau tidak mau Murriel mengikutinya dan kini mereka berdiri di meja kayu kecil penuh perkamen dan tinta tumpah di mana Murriel selalu merangkai kata-kata ramalannya. Salah satu perkamen itu ada di kantong jubah tidur Sang Raja sekarang.

"Hubungi Kesatria Timur," kata Sang Raja akhirnya. "Kita harus menemukan gadis itu dan membawanya ke sini sebelum terlambat."

"Sesegera mungkin," tambahnya.

The Curse of the Half Blood ElfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang