KE LUAR KOTA

8 1 0
                                    

Kau akan ke luar kota katamu, 3 hari lamanya, ada sedikit pekerjaan. Aku hanya diam dan membayangkan akan seperti apa tiga hari ke depan. Kau juga lebih banyak diam hari itu, kemudian kutahu kau juga memikirkan hal serupa.

Sebelum berangkat, aku menitipimu sebuah notes kecil berwarna merah. Ya, sebuah notes, sebab kita masih tak punya telepon genggam kala itu. Handphone masih barang mewah bagi kita. Saat memberikannya aku berpesan, isilah buku ini di sepanjang perjalananmu, ceritakan tentang apa saja yang kau alami, tulislah jika kau merindukanku. Namun kalimat terakhir hanya kugumam dalam hati saja.

Esoknya aku ke kampus dengan perasaan asing. Terasa lengang. Entah rasa apa ini namanya. Aku menjalani kuliah seperti biasa namun tidak tahu akan melakukan apa setelah jam kuliah ini usai. Akhirnya langkah mengantarkanku ke pantai. Menaiki angkutan kota dan turun di simpang jalan menuju pantai. Berjalan sendiri, duduk dan menulis puisi pendek juga tentang pantai, tentang rindu dan hati yang risau. Hingga senja menjelang dan aku memutuskan untuk segera pulang, dalam perjalanan aku berharap hari cepat berlalu dan kita segera kembali bertemu.

Hari kedua aku memutuskan di rumah saja, tidak kemana-mana. Hanya membiarkan rasa malas menguasaiku. Mengurung diri di kamar. Tidur-tiduran sembari menulis catatan pendek tentang apa yang kurasa. Menangkap setiap kata yang melintas di kepala. Semua tentangmu.

Minggu kulalui begitu juga. Rasa apa ini namanya?

Hingga senin ini jelang. Jam kuliah pagi ini ingin tergesa kuakhiri. Aku tahu kau telah kembali, tapi aku tak tahu kau ada dimana. Segera setelah dosen meninggalkan ruangan kelas, aku pun tergesa melangkah. Namun tak tahu kemana hendak kutuju. Kemana aku mencari. Ke fakultasmu aku tak berani, akhirnya aku memutuskan duduk di pelataran parkir, meriang-riangkan hati, bersenda gurau bersama beberapa orang teman. Hingga dari kejauhan aku melihat sosok berkaos merah di antara kerumun mahasiswa lainnya yang baru saja selesai kuliah. Itu kamu!

Aku berdiri, tergesa menghampiri dengan mengambil jalan memutar. Kita bertemu di depan ruang kegiatan seni, seperti berpapasan, saling menghampiri. Aku melontarkan sapaan yang telah kulatih sedari tadi. Kau berdiri merapat pada dinding. Menatapku dengan binar asing dan senyum yang kau paksakan terlihat biasa. Ketika itu aku tahu, kita menyimpan golak hati yang sama. Aku mengulurkan notes kecilku padamu dan kudapati tanganku bergetar. Ternyata begitu rupa rindu yang kutak ingin kau tahu. Baru kali itu aku alami dan hanya sekali itu saja, tak pernah lagi sehebat itu setelahnya, hingga kini.

Kau hanya pana, melihat getar tanganku, menatap mataku dan menerima notes itu. Tersenyum dan terus menatapku. Binar asing yang kerap kurindui pada hari-hari selanjutnya. Setelahnya aku tak ingat lagi. Hanya yang kuingat kau kemudian menuliskan, aku juga rindu.

"meredam rindu,
hanya gigilmu dan gugupku yang berbicara"

***


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 08, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KISAH YANG TAK TERUCAPKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang