chapter 01: i want you back

222 30 3
                                    

"Tidak. Meski pun kita punya nol kemungkinan, meski pun kita hanya akan berdua saja selama-lamanya," Levi mengatakannya dengan amarah, nada bicara yang naik dan ekspresi yang mengeras namun ada sendu disana, "Tolong jangan katakan hal-hal tolol lagi."

"Seperti?"

"Perpisahan."

Hange tergelak, "Bukan aku. Kalimat itu bukan datang dariku."

Levi menghela napas. Wajahnya ia usap kasar, "Lantas?"

Satu keheningan pasti. Dan Levi menautkan alis saat istrinya kembali berkata. Dengan jemari bertaut menguar gugup, dia melepas ujar tanpa berani menatap pasang netra milik Levi, " ... ayahmu."

.

"Dan sendiri kupikir lebih baik dibanding ... dua?"

"Kata siapa?"

Hange tergelak. Persidangan perceraian dua hari lagi, dan mereka berdua bersikap seolah-olah itu bukan apa-apa. Mungkin Hange hanya terlalu lelah untuk memusingkan hal yang sejatinya tetap akan terjadi. Levi yang memilih untuk melupa, yang jelas kini mereka berdua. Yang jelas masih ada waktu. Levi memutar setir kemudi sebelum memarkirkan mobil di garasi.

"Pernikahan itu bukan hanya tentang kamu dan aku," itu kontinu dari kalimatnya. Mereka membuka pintu mobil dalam satu waktu begitu sang pria mematikan mesin, "Tentang keluargamu dan keluargaku. Eh."

Hange tergelak, "Yah, maksudku, keluargamu dan aku. Kamu tahu aku tidak punya siapa-siapa lagi, Levi."

Lalu, lengang.

"Tiga tahun pernikahan. Pasangan lain bahkan rela menunggu sampai sepuluh, belasan, atau selamanya."

Levi paham maksud Hange. Tapi kalimat-kalimat yang terus berputar di kepalanya, serta imaji tentang bagaimana hidup selepasnya membuat Levi pening. Tak terdistraksi. Ucapan dari istrinya hanya terdengar seperti dengung lalat (meski terlampau kasar) sebab kini, Levi hanya bisa memikirkan masa depan.

Dan Levi sungguh ingin membuatnya berhenti bicara.

"Ini pemaksaan," Levi akhirnya hanya menghela napas sebelum melepas kemejanya. Melemparnya ke keranjang pakaian kotor, menyisakan kaus hitam lengan pendeknya sebelum ia hempaskan tubuhnya ke atas sofa, "Pemaksaan sinting yang tidak kita berdua setujui."

"Bukan pemaksaan jika kita menerimanya."

"Oh?" Sebelah alisnya terangkat, dengusnya terdengar sarkastik, "Dan kupikir kamu menerimanya begitu saja, ya?"

"Levi," Hange tergelak, "Bukan, bukannya menerima. Kamu paham betul aku memberi penolakan dan memberi pinta irasional tapi—"

"Ayah tidak tahu soal aku dan kamu. Paman bahkan lebih mengerti," Levi merebahkan kepalanya di bantalan sofa, "Paman Kenny bahkan lebih mengerti."

"What did he say?"

"As long as you two were alright," kelopak mata sang pria terpejam, "As long as ... you two were alright."

Hange mengatupkan bibir.

"Dan sejatinya, Kacamata. Aku tidak menemukan batas-batas kasual canggung yang menyebalkan diantara kita berdua."

.

Setelah semuanya usai, Hange menemukan jawabannya:

Semuanya bahkan tidak dramatis seperti angannya.

Hanya ia dan Levi yang bertukar pandang. Entah mengucap selamat atau perpisahan. Tanpa air mata atau raung-raung dramatis yang mungkin akan terlepas dari bibirnya (yang sempat Hange pikirkan). Alih-alih, Hange hanya tersenyum, "Well, I guess ... this is our goodbye?"

Dan, hening.

Levi sejatinya harus menyaksikan Hange yang melambai lebar-lebar untuk pergi. Pergi. Kenapa pula dia harus pergi dari Berlin. Saat ia katakan, "Aku punya kerabat di sana," sana yang tidak pernah Hange spesifikasikan dimana tepatnya, "Kupikir ada baiknya kita tidak saling bertemu lagi."

Levi ekspektasi buncah tangis atau dekap-dekap emosional. Tapi yang dia temukan hanyalah ketiadaan.

Namun malamnya, saat Levi temukan dirinya terbaring di atas ranjang sendirian. Dan diantara sepi-sepi yang terlampau mengusik itu, Levi rasakan matanya memanas. Dadanya sesak. Pada marah-marah yang ia redam, Levi memutuskan untuk diam dan berkontemplasi.

Mungkin setelah ini, dia akan menutup hati. Selamanya.

.

"Yo, Sayang."

"Berhenti," Levi memaksa untuk menutup pintu, tapi kaki dengan sepatu pantofel itu lebih dulu menghambatnya. Seringai raksasa tercipta dari wajah sang pria berjambang, dan Levi memutar bola matanya, "Berhenti memanggilku begitu."

"Berhenti menolakku dan berhenti membuatku sakit hati."

Nama pria itu, Zeke Yeager. Pria penuh teka-teki, seribu tanda tanya. Anomali. Persis mantan istriya. Tapi yang ini lebih banyak memberi pening alih-alih bahagia. Jadi, saat Zeke muncul di depan pintu rumahnya dengan seringai dan aroma parfum menyengat, Levi hanya bisa memutar bola matanya.

"Yang jadi tunanganmu itu aku, atau Pieck Finger?"

"Dua-duanya," dan Levi melemparnya dengan pasta gigi. Mencipta seringai dan akhirnya pria tiga puluh delapan tahun itu memintanya untuk masuk ke dalam ruangan nyaris transparan milik Levi. Pigura masa lampau yang tidak kunjung ia turunkan dari dinding. Dan Zeke berdecak (entah kagum, entah prihatin).

"Kenapa kemari?"

"Sarapan."

"Kamu pikir rumahku ini restoran, hah?"

Di mata Zeke, Levi mungkin tidak lebih dari seorang pramusaji pemilik rumah di tepi Berlin. Levi mungkin sering mengancam untuk memukul wajahnya beberapa kali, tapi Zeke tidak peduli. Di satu waktu, pri berjanggut itu temukan mata Levi berpendar mencari harap pada lembar-lembar album, atau nomor ponsel yang sudah tidak terpakai. Atau lembaran surat dengan tinta yang sudah luntur. Dan disana, Zeke jadi seribu kali lebih menenangkan dan Levi curiga pria ini mengidap kepribadian ganda.

"Oi."

"Eh, ya?"

"Berhenti memandang potret itu. Duduk dan makanlah."

"Oke, Bos."

Levi nyaris melemparinya dengan piring.

Lalu, Zeke bercerita tentang ulang tahun Pieck dua minggu lagi.

"Pesta kecil, sih. Tapi, aku ingin kamu datang," seringainya tercipta, "Ya, aku tahu dia terlalu tua untuk pesta ulang tahun. Tapi kamu pasti ingin membuat tunanganmu bahagia, bukan?"

"Orang kasmaran bikin jijik."

"Heh!"

"Maaf, maaf," Levi melepas dengus, jemari menyapu helai-helai hitam miliknya, "Tidak janji. Tapi akan aku usahakan."

.

To: Hange.

(unsent letters in Levi's cabinet)

Apa kabar?

tbc.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 10, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Talking to The MoonWhere stories live. Discover now