Patahnya Sayap Sang Penolong

29 2 0
                                    

"Tidak semua orang menyadari bahwa dirinya telah menjadi 'parasit' di kehidupan orang lain. Padahal, saya yakin, tanpa kita sadari di dalam hidup ini kita seringkali memberatkan hidup orang lain. Belajarlah mandiri. Berdiri pada kaki sendiri. Sehingga lebih minim untuk kita selalu menyusahkan orang lain—" Sinta melamun. Ia tidak lagi melanjutkan untuk mendengarkan guru bahasa Indonesia yang mendadak menjabarkan hal di luar topik belajar. Mungkin karena tadi Pak Ahmad —guru bahasa Indonesia— melihat para siswa di kelas ini saling menyontek tugas yang diberikan olehnya. Sinta tahu bahwa Pak Ahmad sedang menyindir kelas ini, tanpa marah.

Sinta mengedarkan padangan melalui jendela di sampingnya dan melihat siluet laki-laki yang sedang praktek olahraga di lapangan depan kelasnya. Kelas Sinta memang bersebrangan dengan lapangan. Laki-laki yang sedang ia lihat adalah kakak kandungnya yang hanya berbeda satu tahun dengannya. Kakaknya memang sudah kelas akhir di SMA. Namun, ketika di sekolah mereka seperti tidak mengenal satu sama lain.

"Ta." Sebuah panggilan dari samping membuat Sinta langsung mengerjapkan mata untuk membuyarkan lamunannya dan menengok ke arah sumber suara. Namun, ketika sang pemanggil baru membuka mulutnya, tiba-tiba dipotong dengan suara Pak Ahmad yang menegaskan suaranya sehingga satu kelas menjadi hening.

"Baiklah. Saya sudahi pertemuan kali ini, ingat apa yang sudah saya sampaikan. Saya harap tidak ada lagi jawaban yang sama persis setelah saya memberikan tugas kepada kalian. Kalian yang merasa sudah menjawab sendiri, jangan memberikan sontekan kepada yang lain." Bersamaan dengan keluarnya Pak Ahmad dari kelas 11 IPS 2 dan para murid di kelas yang langsung berhamburan ke luar kelas karena tidak sabar untuk pulang, Sinta membereskan peralatan sekolahnya ke dalam tas dan sudah menebak apa yang akan terjadi.

"Gue nebeng lo, ya, Sin. Hehe." Karin —teman sebangku Sinta— melanjutkan apa yang tadi ingin ia bicarakan. Ia menyengir sembari memasukkan buku ke dalam tas. Hampir setiap hari Karin meminta untuk pulang bersama Sinta. Padahal, mereka berdua sama-sama tahu betul bahwa rumah mereka sangat berbeda arah dan saling berjauhan. Sinta hanya merutuk dalam hati. Kenapa gue enggak bisa nolak, sih. Susah banget jadi orang enggak enakan.

"Oke. Ayo." Sinta menahan napas karena untuk kesekian kalinya tidak bisa untuk menolak atau hanya sekadar berkata 'tidak'. Mereka menuju parkiran sekolah dan menuju mobil Jazz hitam milik Sinta. Karin bahkan tidak pernah berinisiatif untuk hanya sekadar membelikan bensin atau menyetir, walaupun Sinta tidak begitu berharap akan hal tersebut.

Saat mereka sudah memasuki mobil dan siap untuk pulang, Karin menyandarkan kepalanya di jok dan mengambil sisir milik Sinta di depan. "Ta, lo 'kan, minggu lalu ulang tahun. Traktir gue dong, hehe. Gue 'kan bulan lalu udah traktir lo. Gantian lah." Karin nyengir sembari menata rambutnya menggunakan sisir milik Sinta tanpa izin. Sinta menganggap Karin adalah teman satu-satunya di sekolah. Pada awalnya, Sinta bertekad untuk tidak mengecewakan Karin karena hanya Karin yang ingin berteman dengannya walaupun ia sedikit pendiam. Kelemahan Sinta memang sangat sulit untuk bersoalisasi, meskipun hatinya tulus. Namun, makin lama berteman dengan Karin, Sinta merasa tidak nyaman.

"Eh, boleh. Kita mampir dulu, ya." Sinta merutuk dalam hati. Mengapa jalan pikiran antara hati dengan mulutnya sangat berbeda. Ia sangat tahu bahwa uang yang dimilikinya sekarang memang cukup, tetapi ingin ia tabung untuk keperluan lainnya. Dalam hidupnya, Sinta memang jarang sekali menolak permintaan seseorang.

****

Matahari sudah mulai turun di ufuk barat, meninggalkan sisa-sisa cahaya langit berwarna oranye bersamaan dengan barisan para burung yang terbang kembali menuju sarangnya. Di antara salah satu naungan senja yang indah tersebut, terdapat anak perempuan yang masih menggunakan seragam putih abu-abu dengan badan yang lusuh. Ia memakirkan mobilnya, lalu membuka pintu rumah sembari membuka sepatu sneakers yang hanya diinjak pada bagian belakang sepatu.

Jendera Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang