Kiamat Kecil

52 0 0
                                    

Aku menatap bunga matahari yang terdapat embun akibat hujan satu jam yang lalu. Hujan adalah sesuatu yang membuat hati sejuk, tetapi aku benci hujan karena aku alergi dingin. Aku juga takut pada petir. Iya, aku memang penakut. Bahkan sesuatu yang biasa saja menurut sebagian orang merupakan sesuatu yang besar untukku. Hal tersebut membuat aku lebih menyukai sendirian. Tidak akan ada sesuatu yang membuatku takut jika aku sendirian. Jika sendirian, kau tidak akan melihat seseorang meledek atau bergurau seenak jidatnya. Kau tidak perlu mengeluarkan energi untuk sekadar berbicara tidak penting. Jika sendirian, kau bisa menutupi kepalamu dengan buku tebal untuk dibaca, sesuatu yang bisa membuatmu nyaman.

"Nduk, mangan sek!" (Nak, makan dahulu!). Itu suara Ibu yang terlihat dari depan pintu rumah untuk memanggilku makan siang. Aku memang baru saja pulang sekolah dan masih menggunakan seragam putih biru dengan rambut dikepang satu yang dibuat oleh Ibuku sebelum berangkat sekolah tadi pagi. Aku melihat Ibu dan mengarahkan jari jempol sembari tersenyum manis. 'Ku tinggalkan pekerjaanku mengamati bunga matahari dan masuk ke dalam rumah. Ah, aku ingin meralat perkataanku. Bahwa aku tidak begitu menyukai sendirian karena aku suka ketika bersama Ibu.

Aku duduk di meja makan bersama Tyas -Adik perempuanku- yang masih menginjak kelas 3 SD. Adikku makan tempe dan sayur yang dimasak Ibu tadi pagi dengan lahap, pipinya mengembang dipenuhi makanan. Aku terkekeh pelan, adikku merupakan temanku satu-satunya. Bukannya tidak ada yang ingin berteman denganku. Namun, aku yang menutup diri dari orang lain dan tidak suka untuk bersosialiasi. Bagiku, tidak ada yang perlu dipercayai kecuali Adik dan Ibuku, walaupun aku tahu tidak semua orang mempunyai sifat jahat. Tentang Bapak, beliau telah meninggal enam tahun yang lalu karena penyakit gagal ginjal.

Aku menoleh pada Ibu, "Ibu, boleh enggak besok aku ke perpustakaan desa?" Tanyaku sembari menyuap suapan terakhir. Besok adalah hari Sabtu, hari libur sekolah. Hari Sabtu tidak begitu banyak pengunjung perpustakaan dibandingkan dengan hari Minggu. Sudah terhitung dua minggu aku tidak lagi berkunjung ke perpustakaan karena sedang ujian praktek dan tryout kelas sembilan.

"Yowis, ojo suwi-suwi." (Iya sudah, jangan lama-lama). Kata ibu yang sedang menjahit resleting rok sekolah milik adikku. Mendengar hal itu, aku tersenyum sumringah dan bergegas ke dapur untuk mencuci piring.

****

Matahari masih setengah malu-malu untuk menampakkan dirinya pada sang langit. Udara sejuk pagi tanpa asap kendaraan dan kicauan burung yang hinggap di pohon-pohon untuk menunggu satu sama lain, membuatku tersenyum kecil. Aku berjalan pelan agak jinjit dan mengangkat sedikit rok panjangku agar tidak terkena becekan bekas hujan tadi malam. Setelah tadi mengantar Ibu berbelanja dan memasak, aku langsung bergegas menuju perpustakaan yang hanya berjarak 500 meter dari rumah. Aku selalu ingin menjadi orang yang pertama datang ke sana dan berdiam diri tenggelam dalam buku, lalu jika sudah mulai ramai aku akan pulang. Hal yang paling 'ku suka adalah sambutan ramah dari Pak Sapardi, sang penjaga perpustakaan.

"Mbak Gayatri, kok, baru kelihatan? Sudah lama sekali enggak ke sini!" Pak Sapardi setengah berteriak menyambutku ketika aku baru saja membuka gerbang halaman perpustakaan yang tidak dikunci. Aku tertawa pelan, lalu menuju Pak Sapardi dengan kopi dan pisang goreng di sampingnya.

"Habis ujian di sekolah, Pak." Aku tersenyum tipis, lalu membuka sepatu buluk milikku lewat belakang sepatu dengan kaki. Aku diam melihat Pak Sapardi, "Pak, minta tolong dibukakan pintunya." Biasanya, Pak Sapardi langsung mengambil kunci untuk membuka pintu ketika aku baru saja datang. Namun, kali ini Pak Sapardi diam saja, beliau terkekeh.

"Pintunya sudah saya buka, Mbak. Lima belas menit yang lalu sudah ada yang datang. Dia rajin sekali, sudah satu minggu berturut-turut dia datang pagi-pagi ke sini." Penjelasan Pak Sapardi membuatku mengernyit spontan, tetapi satu detik kemudian aku buru-buru agak menunduk dan mengucapkan terima kasih. Ini baru saja jam delapan lewat tiga puluh. Siapa orang itu? Seharusnya aku yang selalu datang pertama ke sini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 10, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jendera Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang