Digandeng tangannya oleh Rama ke mobilnya, Nirina masih belum tega meninggalkan Karen begitu saja. Beberapa kali kepala Nirina menoleh ke belakang, seolah jiwanya tertinggal di sana.
"Mas," tegur Nirina setelah berhasil menyamai langkah Rama.
"Ada apa, Love?"
"Boleh nggak sih kita ke rumah Mama Santi besok aja?"
Pertanyaan itu membuat genggaman Rama di tangan istrinya makin erat. "Waduh, jangan Love, bisa berubah jadi gunung nanti baskom di rumah gara-gara ditendang mama."
"Sangkuriang kali ah, nendang baskom sampai jadi gunung."
Rama menurunkan pandangannya, berkata dengan tampang serius pada Nirina. "Tapi beneran deh, Love. Mas nggak bohong, mama tuh kalau udah marah, aduhhh ... susah deh diajak baikan. Makanya, papa selalu jaga omongan sama sikap, sehati-hati mungkin, biar mood-nya enak terus. Apalagi kita udah beberapa kali janji-janji mulu mau dateng, tapi nggak dateng-dateng. Kamu mau kita dimasukin ke daftar hitam mama sebagai anak dan menantu kang ghosting?"
Nirina diam ketika Rama menjelaskan panjang lebar.
"Emang kenapa sih kamu nggak mau ke sana?" tanya Rama. "Nggak nyaman? Atau kenapa?"
"Aku kepikiran sama Karen, Mas. Dia kayaknya lagi ada masalah deh sama Ibnu. Tadi tuh tadi sebenarnya dia mau cerita, eh keburu Mas Rama dateng."
"Oh, Karen," sahutnya singkat.
Membuka pintu mobil, Rama menggunakan tangannya untuk melindungi dahi dan kepala istrinya saat masuk biar tidak tersantuk. Setelah membantu Nirina pasang sabuk pengaman, barulah dia memutar dan duduk di bangku kemudi. "Kenapa lagi emang sama Karen? Tadi aku dengar si Heru, Kiki, sama siapa tuh yang dulu naksir kamu?"
"Arlan?"
"Nah iya, pokoknya itulah. Pas Mas nyariin kamu, mereka bertiga lagi ghibahin Karen, tapi langsung pada diem waktu Mas dateng."
"Itu sih masalah dunia perkoasan, yang aku khawatirin nih hubungan Karen sama cowoknya. Lagi berantem aja si Karen bisa kacau banget. Apalagi tadi dia bilang Ibnu mutusin dia."
"Bagus dong putus," kata Rama lugas, meskipun sudah menyalakan mesin mobil, dia sepertinya belum berniat meninggalkan tempat itu. "Denger cerita kamu tentang mereka aja Mas udah ngira, cowok Karen tuh red flag. Biarin aja putus, menurut Mas, Karen deserved better kok."
Bibir Nirina terkatup cukup lama sebelum dia mengakui ucapan suaminya benar. "Cuma Karen tuh susah dibilangin, Mas. Bucin banget dia. Duh, aku kok tiba-tiba takut dia jadi nekat ya. Mas tunggu sebentar lagi bisa? Biar aku ngomong dari hati ke hati sama dia."
Rama yang dari tadi memandang ke arah lain bergumam, "kayaknya nggak perlu deh, Love. Kamu lihat deh ke sana."
"Ada apa memang?" Saat bertanya, Nirina melihat ke arah mata Rama mengulurkan jari telunjuk, dan menemukan pemandangan yang membuat jantungnya nyaris pindah tempat ke perut.
Andi menginjak pedal gas maju, dan menginjak pedal rem sekitar setengah meter dari tubuh Karen.
"Kak Andi sudah gila kali, ya?!" Saat Nirina membuka sabuk pengaman dan mendorong pintu, lengannya ditahan oleh Rama, "Mas Rama lepasin dong, ntar mereka keburu perang badar gimana?"
Rama menggeleng. "Nggak akan, kita lihat aja."
Tebakan suaminya benar, setelah lima menit, tidak ada keributan yang terjadi di antara dua orang yang hubungannya kayak orang kredit motor telat bayar dan debt collector leasing.
Dan yang membuat mulutnya ternganga lebar adalah, Andi membantu Karen mendorong mobil yang mogok itu sendirian.
"Love." Suara Rama yang memanggilnya membuat Nirina segera mengatupkan mulut. "Kirimin nomor Arlan ke WA, dong."
KAMU SEDANG MEMBACA
NIKAH YUK DOK [dr. Andi & dr. Karen]
Romance"Cinta itu kadang kayak obat. Bisa menyembuhkan, tapi bisa jadi racun juga kalau dosisnya nggak tepat." Nasihat Andi bikin Karen tercenung. Dari sekian banyak pria yang tersisa di muka bumi ini, Karen heran, kenapa malah Andi, alias si musuh bebuyut...