Setelah debat kecil tadi, tak ada satu pun yang membuka obrolan. Suasana dalam kabin hening. Andi fokus melihat ke depan, sedangkan Karen terus-terusan melihat gawainya.
Sudah hampir dua jam sejak kata putus pagi tadi, terpantau Ibnu masih memblokir nomornya. Hal itu membuat hati Karen semakin tak keruan.
Dia masih belum mau putus. Apalagi putus begitu saja tanpa ada penjelasan apa-apa. Minimal dikasih tahu kek kesalahannya apa, biar bisa diperbaiki.
Capek mengetik dan menghubungi Ibnu tanpa sedikit pun hasil, rasa-rasa Karen kepingin membanting gawainya.
Saat matanya memandang keluar, dia masih memikirkan cara bagaimana menghubungi Ibnu, lalu dia melihat deretan konter yang menjual pulsa dan kartu perdana.
"Eeeh, bentar, bentar. Berhenti sebentar dong!"
Diteriakin tiba-tiba, Andi menginjak rem tanpa menyalakan lampu sein, membuat Karen mendapat kata mutiara dari pengendara motor yang hampir menabrak bemper belakang mobilnya. "Cok! Mandek seenak udel e dewek, dalane mbahmu opo? Uaasu!!!"
Untung itu orang yang naik motor punya refleks bagus, jadi nggak ada deh drama minta ganti rugi.
Andi menajamkan matanya saat melihat Karen. "Sebaiknya kamu punya alasan yang masuk akal nyuruh aku berhenti tiba-tiba!"
Mendengar kemarahannya, Karen nyengir sambil bilang, "Sorry, habisnya konter pulsa munculnya juga tiba-tiba."
"Matamu muncul tiba-tiba--"
"Kalau mata gue sih udah ada dari lahir. Gue beli pulsa dulu. Wait, ya."
Dengan begitu saja Karen melompat turun dari mobil, meninggalkan Andi yang masih mau marah.
Sebenarnya Karen bukan mau beli pulsa, ya kali pulsa abodemen bisa habis. Yang dibeli Karen di konter kecil pinggir jalan, sampai hampir mengorbankan bemper mobil Andi itu adalah gawai dan kartu yang mau dia pakai buat menelepon Ibnu.
"Ini beneran udah diregistrasi ya, Mas? Males nih bongkar lemari nyari KK."
"Wes, Mbak. Pokok e tinggal pake." Penjaga konter memberikan gawai harga dua ratus ribuan ke Karen yang berdiri menunggu.
Menerima kembalian, Karen tidak langsung masuk ke mobil, tapi malah mampir ke warung nasi sebelah konter.
Dalam mobil, Andi memperhatikan semua yang dilakukan oleh Karen sambil menyandarkan bagian depan tubuhnya pada setir mobil. "Ngapain lagi tuh cewek?"
Keluar dari warteg, Karen membuka bungkusan ikan, memberikannya pada kucing liar, berjongkok, dan menunggui mereka makan sebentar.
Melakukan hal kecil ini membuatnya melupakan masalah Ibnu sejenak.
Tiga potong ikan bandeng habis dalam sekejap, Karen menepuk kepala setiap kucing, barulah berdiri dan kembali ke mobil.
"Nih buat, lo!" Karen membelikan milk tea boba buat Andi, dan diterima oleh pemuda itu, tapi malah dia simpan di samping pintu.
"Saya nggak minum minuman yang mengandung pemanis buatan. Takut kena diabet."
Tidak peduli dengan Andi yang menjaga kesehatannya, Karen menusuk minumannya, menyedotnya sampai mulutnya penuh. Setelah menelan, barulah dia bilang. "Tapi kok lo biasa aja deketan ama gue? Nggak takut kena diabet?"
Andi memiringkan kepalanya ke kiri. "Maksudnya?"
"Gue kan lebih manis dari pemanis buatan," kata Karen pede.
"Iya sih manis." Pujian yang keluar dari bibir Andi membuat bibir Karen merenggang, dia tersenyum. Namun, senyum itu tidak sampai semenit singgah di wajahnya karena Andi melanjutkan, "Mungkin gara-gara itu kali ya kamu diputusin sama cowokmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
NIKAH YUK DOK [dr. Andi & dr. Karen]
Romance"Cinta itu kadang kayak obat. Bisa menyembuhkan, tapi bisa jadi racun juga kalau dosisnya nggak tepat." Nasihat Andi bikin Karen tercenung. Dari sekian banyak pria yang tersisa di muka bumi ini, Karen heran, kenapa malah Andi, alias si musuh bebuyut...