Dilema Usia

49 8 6
                                    

Seorang gadis berhijab syar'i duduk dengan fokus tertuju pada layar komputer di meja kerja. Kaca mata minus melingkar, menambah kesan semakin bulat di wajahnya.

"Qila! Kamu itu jadi anak gadis mbok ya maen keluar sana. Cari-cari pacar gitu, biar enggak jadi perawan lapuk." Andini merapikan meja ruang kerja. Sesekali mata melirik Aqila yang masih asyik menatap layar komputer tanpa kedip.

Qila, gadis termuda yang menduduki jabatan paling tinggi di antara sekufunya di departmen Mr. Killer. Si tembam yang sering kali mengisi waktu luang dengan nyemil sambil nonton FTV streaming. Tapi, sudah seminggu lebih dia belum berhasil memanjakan diri di neraka ini.

"Woy!" Melambaikan tangan depan wajah Qila. "Kalau ada orang ngomong mbok ya didengarkan, Sayang ...."

Qila kedip beberapa kali. Menahan perih efek berinteraksi dengan komputer terlalu lama. Maklum saja, tugas sebagai seorang sekertaris memaksanya untuk terus bertindak lebih cepat dari monyet yang melompat. Lebih-lebih, bos utama sangat tidak bersahabat dengan orang yang kerjanya terlalu lelet.

"Eh, ada apa, Mbak?" Mandang Andini sambil melepas kaca mata. Memijit pelan bagian tengah di kedua mata.

"Kamu lo, La ... La. Kalau diajak ngobrol kok selalu enggak fokua. Itu kerjaan ditutup dulu!" Menutup layar komputer Qila dengan dua tangan. "Kamu ngejar apa terlalu forsir diri kayak gini? Harta? Jabatan? Atau apa?"

Bukan hal baru bagi Qila mendapat sindiran perihal usia dan jodoh. Termasuk dari Andini, salah satu partner di departmen yang hobi banget sindir-sindir. Maklum, dia sudah beranak tiga dan bermimpi menjodohkan anak Qila dengan anaknya. Duh, memang emak-emak zaman now banget. Sebenarnya, bukan Qila yang menolak menikah, tapi mungkin memang Allah sedang mempersiapkan yang terbaik untuk si tembam.

"Emm, bukan gitu, Mbak. Aku harus amanah sama tugas yang diberikan kantor. Biar enggak sampai makan gaji buta gitu."

"Haish, terlalu teoritis kamu itu! Umur berapa sekarang?" Mengangkat dagu Qila.

"Dua lima, Mbak. Kenapa sih?"

"Itu umur udah seperempat abad aja. Sisanya mau diabdiin ke kantor semua?" Melebarkan kelopak mata dengan kornea tepat di tengah.

"Ya ... ya enggak juga, Mbak." Menggerak-gerakkan kursi hitam beroda yang diduduki.

Andini menarik kursi kerjanya duduk tepat depan Qila, dengan suara berbisik, "Jangan sampai, nasib lo sama kayak si Bos. Hih, amit-amit jabang bayi." Menepuk perutnya beberapa kali, bergidik ngeri.

Qila menyipitkan mata. "Emang Si Bos kenapa, Mbak?" Wajah polos.

"Lo kerja di sini udah berapa lama sih? Lemot amat sama informasi hits?" kesal Andini, mencubit pipi Qila yang sebagian tertutup hijab.

"Hampir tiga tahun, Mbak." Aqilah memutar mata sesaat. "Hubungannya?"

"Duh! Harus gue jelasin juga ini bocah," gerutu Andini. Meletakkan siku di meja menopang dagu. "Si Bos itu udah lima kali ga ...."

"Andini." Suara tegas seorang lelaki dari kubikelnya berhasil menghapus semua konsentrasi wanita tiga puluh tahun ini.

"Jangan balik badan, jangan balik badan, jangan balik badan!" Lidahnya berkomat-kamit menarik diri dari meja kerja Qila.

"Hehe, Pak." Andini sedikit menundukkan kepala, memindah kursi kerja ke kubikelnya.

"Kamu buatkan kontrak kerja dengan PT Merdeka Sejati! Saya mau siang ini jadi dan sudah tertata rapi di meja setelah makan siang." Devil terkejam meninggalkan Andini ginjal-ginjal sebel di tempatnya.

"Hahaha ... jangan sok jadi wartawan lo kalau kerja sama Si ...." Nando langsung menutup mulut begitu melihat gerak kaki si bos balik arah.

"Aqilah, tolong kamu siapkan semua data jadi yang kemarin dikirim pihak klien. Jangan lupa juga, jadikan semua berkas dalam satu folder. Ingat! Data jadi, bukan data mentah. Thanks."

"Mata gue, Ndo ...." Qila menelungkupkan kepala di meja.

"Sabar, ya, Qila. Gue juga punya setumpuk map ini." Nando menunjuk map di mejanya.

****

Aqila bergerak cepat ke parkir motor. Maklum saja, waktu magrib sudah berkumandang sejak 15 menit yang lalu dan seorang gadis baru bisa keluar kantor.

"Allahuma soyyiban naffian." Aqila menghentikan pergerakan kakinya depan pintu keluar. Mau tidak mau dia harus berdiam di tempat untuk beberapa waktu, lagi. Demi badan tidak terguyur hujan, berlanjut sakit dan tugas kantor terbengkalai. Enggak, enggak, itu mimpi buruk. Lebih baik menunggu beberapa saat daripada berakibat fatal.

"Kamu bawa payung?" Suara tegas itu pasti berasal dari Bos Killer. Enggak bakal salah pokoknya, udah hafal banget.

"Enggak, Bos." Menggeser posisi agar tidak terlalu dekat dengan atasan.

"Jas hujan?" Qila lagi-lagi geleng kepala. "Kamu itu niat kerja apa main? Safety-nya gimana?"

Sreeett ...

"Astagfirullah!" Qila tergelincir, dia menutup mata dan bersiap mendarat di lantai. Beruntung ada si bos yang sigap. "Alhamdulillah, masih selamat dari cium lantai basah."

"Hati-hati!"

"Baik, Bos. Terima kasih." Tanpa basa-basi lelaki yang dipanggil Bos sudah berlalu dengan mobil mewahnya bersama sopir yang siap siaga.

"Qila!" Seorang lelaki berbaju koko sudah berdiri di seberang, lengkap dengan jas hujan dan helm. Qila melambaikan tangan dengan senyum.

"Segera nikah, Nduk. Semakin hari usia Ibu dan Bapak semakin berkurang. Kamu tega membiarkan kami pergi tanpa sempat melihat putri semata wayang belum menikah?" Di atas motor Bapak terus berucap, meski nada beliau santai, entah kenapa Qila menangkapnya seperti petir yang menyambar bersamaan dengan hujan yang terus mengguyur tepat di hatinya.

Tidak ada yang perlu disesali, tapi nyatanya pengalaman pahit itu benar-benar masih membekas sampai hari ini. Berat, seperti belum ada obat yang bisa menyembuhkannya, kecuali menangis dan bersimpuh dihadapNya.

MENANTIMU DALAM DOATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang