Stevie menghempaskan tubuhnya ke sofa tanpa mempedulikan sekitar. Ia ingin tidur lima menit saja sebelum kembali menggerakan otak dan otot. Ternyata hari pertama kuliah dan menjadi baby sitter bagi bayi besar sudah membuatnya lelah luar biasa. Tapi tentu saja ia tak boleh menyerah! Perjuangannya masih sangat panjang, dan ini belum apa-apa.
Sekelebat bayangan masa lalu muncul di benak Stevie. Ia tak tahu apa yang benar-benar terjadi sampai berdampak sebesar ini. Satu-satunya yang ia tahu adalah semua berawal dari kesalahpahaman. Kesalahpahaman yang setelah diluruskan entah bisa membuat keadaan lebih baik atau tidak.
“Lo bisa menyingkir dari sini?”
Stevie membuka matanya saat mendengar suara berat dari belakang. Ia segera memperbaiki posisi duduknya sambil memunguti tas dan sepatu untuk dibawa ke kamar. Tak perlu susah-susah menengok siapa yang menegurnya karena ia tahu hanya ada satu orang di rumah ini yang berlaku menyebalkan.
“Eh, mau kemana lo?” Dimas meraih tangan Stevie dan membalikkan tubuh gadis itu sebelum melangkah pergi. “Buatin temen gue minum dulu!” suruhnya kemudian.
Stevie melihat ke belakang Dimas melalui pundak laki-laki itu. Di sana sudah berdiri empat cowok sedang memandanginya dengan tatapan mengejak, yang membuatnya tanpa sadar menggerakkan tangan ke sudut mulut.
Gue nggak ngiler kan?
“Lo bikin pulau di bantal sofa ya?” Curiga Dimas sambil mendekatkan wajahnya ke Stevie.
“Enak aja!” Dorongan sontak dilakukan Stevie pada laki-laki di depannya. Bisa kali nggak nanya beginian di depan orang lain! gerutunya.
“Udah sana bikin minuman!”
***
Helaan napas terdengar beberapa kali dari Stevie. Ia memandang dari balkon ke arah halaman rumah, dimana terdapat dua mobil teman Dimas berjajar rapi. Sudah lima jam mereka di sini, dan belum balik juga, mungkin malahan mereka berniat untuk menginap. Ya, ini tak akan jadi masalah selama mereka tak mengadakan huru hara di rumah ini. Kalau sampai ini terjadi, bisa dipastikan ia akan turun tangan sendiri untuk mengikibiri mereka.
Dimas… nama itu mau tak mau sudah mulai memenuhi otaknya sejak Tante Lusi mendatanginya bulan lalu. Dengan segala hal yang dimiliki oleh pengusaha itu, sulit dipercaya kalau ia yang dimintai bantuan untuk mengubah Dimas hanya dengan bermodalkan masa lalu. Stevie sendiri ragu, apa masa lalu mereka yang serba tidak jelas bisa cukup kuat untuk dijadikan landasan atas permintaan Tante Lusi? Bagaimana kalau semua tidak berjalan sesuai rencana? Bagaimana kalau Dimas tahu tentang masa lalu mereka dan malah murka? Kalau kemungkinan terakhir yang terjadi, dalam sekedipan mata laki-laki itu pasti akan menghabisinya.
Tanpa sadar Stevie bergidik ngeri memikirkan beberapa cara yang akan dilakukan Dimas untuk membunuhnya. Mulai dari mencekik, meracuni, atau yang paling menyeramkan memerkosanya sebelum akhirnya dimutilasi. Duh Tuhan, tahu begini ia akan berpikir seribu kali untuk menerima tawaran Tante Lusi.
“Gue cari kemana-mana, nggak taunya malah asyik melamun di sini.”
Stevie tersentak. Ia melihat salah satu sahabat Dimas yang bernama Yoga mendekat ke arahnya. Dengan segera, gadis itu memalingkan pandangan ke hal lain sambil berdecak karena kesal.
“Kenapa?” tanya Yoga saat mendapat respon kurang enak dari gadis di sampingnya.
Stevie memilih bersikap pura-pura tak mendengar. Biar sajalah. Siapa suruh mengagetinya? Ya, walaupun bukan salah Yoga sepenuhnya, ia saja yang terlalu lama bergelut dengan lamunannya.
“Woy… Stevie apple girl, gadis apel.” Panggil Yoga sekali lagi.
“Can you call me with another name? Apple girl my ass!” balasnya sewot.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'M YOURS (Prequel YOU'RE MINE) - On Hold
General FictionIni adalah cerita sebelum "YOU'RE MINE" "Aku mungkin hanya kepingan kecil di masa lalumu, tapi sekarang... entah seperti apa aku di matamu." -Stevanny Andari- "Baik dulu ataupun sekarang, kehadiranmu selalu membuatku gila." -Dimas Bastian Wijaya-