Bab 1. Terkenang

79 9 6
                                    

🍀

"Jongkok! Ayo!" teriak si gadis jangkung seraya mengarahkan telunjuknya ke bawah.

"Woi! Disuruh malah diem aja, sih!" teriak lantang gadis di sebelah si jangkung.

"Eeh ... mau ngelawan, ya!" hardik salah seorang dihadapannya.

Alya menunduk dan bergeming, membuat salah seorang lainnya geram lalu mendorong paksa kedua bahunya agar melakukan yang diperintahkan. Tubuh mungilnya tidak mampu menahan dan dia pun bersimpuh. Sedetik kemudian tawa penuh kemenangan membahana ke seantero ruangan terpencil di ujung setelah kamar kecil sekolah.

"Tolong, jangan ...," ujar Alya lirih.
Si gadis jangkung melirik tajam ke arah Alya.

"Jangan apa?" tanyanya ketus.

"Jangan ganggu saya," jawab Alya terbata-bata.

Tidak terasa bulir air mata mulai membasahi pipi Alya yang mulus. Dia berharap mereka akan berhenti dan merasa iba, tetapi kenyataannya sebaliknya. Si gadis jangkung menyeringai dan kembali menyiksanya. Kali ini, sebuah tendangan mendarat dengan tepat di dekat lambung dan hampir membuat pergolakan di perutnya mencuat. Dia ingin menangkis, tetapi entah mengapa kedua tangannya seakan membatu tak bisa bergerak.

Anehnya, semakin lama siksaan yang didera Alya tak kunjung usai. Dia lalu berusaha menggerakkan otot-otot di sekujur tubuhnya dan berhasil! Dia pun tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dengan langkah seribu melarikan diri dari mereka. Namun, mereka berhasil menghadang tiap kali dia menemui tikungan. Lama-kelamaan rasa lelah mulai menghinggapi dan dia terpojok setelah menemui jalan buntu.

Alya merapatkan tubuhnya di dinding yang terasa dingin. Kini, keempat teman yang sejak tadi menyiksa tengah berdiri berkacak pinggang dihadapannya. Dia hanya mampu berdoa di dalam hati, memohon keselamatan kepada Yang Maha Kuasa ketika si gadis jangkung berjalan mendekatinya seraya menyeringai. Sedetik kemudian, sebuah tinju melayang hendak mendarat di pipi kiri membuatnya berteriak.

"Tidaaak!"

"Alya! Alya, bangun!" ujar sang ibu seraya mengguncang-guncang tubuh rapuhnya.

Alya tersentak. Kemudian dia terduduk, kedua bola mata indahnya membelalak lalu serta merta memeluk ibunya dengan napas memburu dan peluh di kening juga lehernya.

"Alya. Kamu mimpi buruk?" tanya sang ibu dengan nada khawatir.

Alya bergeming. Dia tengah menenangkan diri dari mimpi yang terasa amat nyata baginya.

"Alya!" seru ibunya, membuatnya kembali tersentak.

"I-iya, Bu."

Mendengar jawaban Alya, sang ibu mengusap punggungnya dengan lembut.

"Ya sudah. Sekarang kamu ambil wudhu trus sholat subuh, ya?" perintah sang ibu, dan Alya mengangguk.

Kemudian Alya bangkit dari duduk, menjejakkan kedua kakinya di lantai dan bergegas ke belakang. Usai menunaikan sholat subuh, dia merasakan ketenangan batin. Lalu mengangkat kedua telapak tangannya, berdoa hingga meneteskan air mata.

'Ya Allah, hanya kepadaMu hamba mengadu dan memohon, tapi mengapa hambaMu ini tak juga dapat menghilangkan kesedihan di hati? Sampai kapan hamba mampu bertahan? Hamba memohon, ya Allah. Tolonglah hamba ....'

Selepasnya, Alya pun mengusap wajahnya yang telah basah oleh air mata dengan kedua telapak tangan.
Tidak berapa lama kemudian, Alya berjalan menghampiri meja belajarnya yang menghadap ke jendela kamar. Lalu dibukanya jendela dan angin sepoi-sepoi masuk menyelimuti seisi ruangan. Dia menatap sendu langit gelap yang beberapa saat lagi akan menampakkan cahaya matahari. Kemudian dia duduk di kursi, melipat kedua tangan di meja dan dagu bertumpu diatasnya. Dia merenung sembari mengingat mimpi yang tadi dialaminya.

Alya mencoba melupakan mimpi buruk tadi, tetapi percuma. Dia justru teringat kenangan buruk selama di asrama 3 tahun yang lalu. Di mana dia mendapatkan perlakuan tidak wajar baik secara fisik maupun mental dari beberapa temannya. Bahkan, dia seperti menjadi bulan-bulanan bagi mereka. Dia tidak mengerti bagaimana awal mula menjadi sasaran empuk kawanan tersebut. Yang jelas, dia tidak bisa lari dari cengkeraman mereka, genk yang paling disegani di sekolah.

Genk tersebut beranggotakan empat orang siswi, yaitu Elisa, Syawa, Husna, dan Febi. Keempat gadis tersebut terkenal paling menonjol di sekolah, meskipun bukan dari segi pelajaran. Namun, genk yang diketuai oleh Elisa itu mampu membungkam seluruh siswa yang terkena sasaran. Sehingga mereka selalu lolos dari pantauan pihak sekolah.

Awalnya, Alya tidak merasa dijadikan sasaran oleh mereka. Elisa selalu meminta tolong dirinya untuk membantu dalam setiap pelajaran. Mulanya dia tidak merasa keberatan, tetapi lama-kelamaan si gadis jangkung itu seperti bergantung kepadanya. Dia mulai kewalahan dan takut ketahuan oleh guru-guru. Akhirnya, siksaan fisik dan mental pun mulai diterima setelah dia menolak mengerjakan yang diminta oleh Elisa.

"Alya," panggil ayahnya.
Seketika Alya tersadar dan segera bangkit dari duduk.

"Iya, Pak," sahutnya seraya berjalan menuju ke pintu kamar.

"Ayo, bantu Bapak. Sebentar lagi toko mau buka," ujar sang ayah.

"B-baik, Pak!" ucap Alya dan dia bergegas menghampiri ayahnya.

Mereka berjalan bersama menuju ke toko yang terletak di samping rumah.
Ayahnya Alya adalah seorang pedagang. Toko yang dimilikinya sudah berdiri sejak Alya masih berada di dalam kandungan ibunya. Sebelum Alya lulus sekolah, sang ayah memiliki dua pegawai yang membantunya mengurus toko. Namun, kini kedua pegawai tersebut telah mandiri dan memiliki toko sendiri. Karena itu, sementara pendaftaran kuliah belum dimulai, dia membantu sang ayah di toko.

"Lho, kok udah mau buka toko? Sarapan dulu, Pak," ujar sang ibu yang menghampiri mereka di toko.

"Alya sarapan di sini aja, Bu," ucapnya seraya melirik sang ayah yang menatap garang ke arahnya.

Sang ibu hanya menggeleng seraya mengembuskan napas berat dan berlalu. Tidak lama kemudian, ibunya kembali sambil membawa baki berisi dua piring nasi uduk beserta dua gelas teh manis dan sepiring gorengan bakwan. Dia meletakkan baki di dekat meja kasir dan mempersilakan Alya juga suaminya untuk sarapan.

Sang ayah dan Alya pun menyantap makanan tanpa sepatah kata. Tidak sampai sepuluh menit sarapan pun usai. Alya menata kembali piring dan gelas bekas makan. Lalu dia pamit ke belakang sambil membawa baki. Setelah itu, dia kembali ke toko dan merapikan barang-barang yang akan diletakkan di rak-rak.

"Alya. Kapan kamu mau daftar kuliah? Nanti Bapak antar," tanya sang ayah dengan pandangan tetap ke buku penjualan.

Alya menoleh dan menatap nanar sang ayah. Dia tergugu.

"A-Alya gak mau kuliah, Pak," jawabnya lirih.

Dia bersiap mendengar omelan sang ayah. Dia tahu, ayahnya sangat menginginkan dirinya untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Namun, dia merasa tidak siap bila harus bertemu dengan orang baru yang mungkin saja menjadikan dirinya sasaran empuk lagi.

"Apa? Nggak mau kuliah?" tanya sang ayah. Kali ini, ayahnya menutup buku penjualan dan mendekatinya.

Alya menelan ludah seraya menunduk. Dia tidak berani menatap ayahnya yang kini berdiri seraya melipat kedua tangan di dada.

"Alya! Bapak tanya. Kapan kamu mau daftar kuliah?" tanya sang ayah lagi. Kali ini dengan suara lantang.
Degup jantung Alya berdetak kencang. Dia menutup kedua mata sembari mengepalkan kedua tangannya.

"Alya. Jawab!" teriak ayahnya, membuat Alya tersentak.

The Wounds [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang