Bab 13. Lamaran

10 4 1
                                    

🍀

Setelah beberapa kali Firman menyambangi toko Pak Misbah karena diminta oleh kedua orang tuanya dengan alasan belanja sembako, lama-kelamaan dia pun menyadari bahwa mereka sengaja melakukan itu untuk satu tujuan yang sama; perjodohan.

Sesungguhnya, Firman tidak merasa keberatan dengan sikap orang tua dari kedua belah pihak. Dia justru senang dan berharap lebih, tetapi sedikit khawatir jika sang bidadari yang disukainya tersebut menolak kehadirannya. Namun, dia meyakini bahwa pernikahan menyempurnakan iman Islamnya.

Hal itulah yang memantapkan hati Firman untuk melangkah mempersunting gadis pujaan, Alya. Dia bertekad membahagiakan sang bidadari apapun keadaan mereka nanti.

Malam ini, entah kunjungan yang ke berapa kali, Firman pulang membawa belanjaan dari toko Pak Misbah. Dia tidak merasakan lelah membawa beban karena tadi bertemu dengan Alya. Baginya, gadis berlesung pipi itu bagaikan suntikan penambah semangat.

"Ini, Bu. Taruh di mana?" tanya Firman seraya menenteng kardus yang berisi sembako.

"Di situ aja, Le. Nanti ibu yang bereskan," jawab Yuni seraya jarinya menunjuk ke arah meja makan.

Firman pun segera meletakkan kardus tersebut.

"Bu. Kenapa nggak beli sembakonya sekalian banyak?" tanya Firman penasaran.

Yuni mengulum senyum seraya menjawab, "Kamu nggak seneng kalo ibu minta tolong?"

Firman turut tersenyum. Sebenarnya, dia tahu sang ibu akan menjawab seperti itu. Namun, dia ingin mendengarnya langsung dari bibir ibunya.

"Firman seneng, Bu. Tapi kasian Dek Alya," jawabnya.

Yuni mengerutkan kening.
"Kok, kasian?" tanya Yuni.

"Firman sering ke sana. Takut bosen," jawabnya, dan disambut tawa oleh Yuni.

Tiba-tiba, terdengar suara sang ayah berdehem sambil berjalan menghampiri mereka. Lalu meminta Firman untuk duduk di kursi meja makan. Setelah mereka duduk berhadapan, ayahnya memulai pembicaraan.

"Le. Kamu sudah siap?" tanya Danu seraya memasang wajah serius.

Firman terdiam sejenak, berpikir.
"InsyaaAllah saya siap, Pak," jawab Firman mantap.

Danu mengangguk-angguk paham. Dia bangga anak sulungnya sudah dewasa dan mengerti akan kewajibannya.

"Kalo begitu, hari Minggu kita ke rumah Pak Misbah," usul Danu, membuat kedua bola mata Firman membulat.

Firman tidak menyangka akan secepat itu. Dia justru berharap dapat melaksanakannya setelah lolos penerimaan menjadi pekerja TKI. Namun, dia tidak ingin membantah dan mencoba membahagiakan kedua orang tuanya.

"Baik, Pak." Firman menyetujui usul sang ayah.

Setelah itu, Danu meminta Firman agar esok hari mengabarkan hal ini kepada Misbah secara langsung. Firman pun menyanggupi permohonan sang ayah.

***

Keesokan harinya, seperti yang diminta, sepulang bekerja Firman mampir ke toko Pak Misbah. Ketika tiba di toko, dia bertemu dengan Pak Misbah dan langsung mengutarakan niat kedatangannya kali ini.

Misbah tidak terkejut mendengar ucapan Firman mengenai kedatangannya bersama keluarga nanti di hari Minggu. Dia justru senang dan tidak sabar menanti hari bahagia itu terjadi.

"Nak Firman serius, 'kan?" tanya Misbah memastikan.

Firman tersenyum seraya menjawab, "Iya, Pak. Serius."

"Alhamdulillah ...."

Usai mengabarkan berita baik tersebut, Firman langsung pamit pulang kepada Misbah. Awalnya, Misbah memaksanya untuk sholat magrib berjamaah seperti yang sudah-sudah. Namun, dia menolak dengan sopan dan bergegas pulang agar tiba di sana masih ada waktu untuk sholat.

The Wounds [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang