Selamat mengarungi dunia Wasa. Jangan lupa tinggalkan jejak sebelum mambaca.
---
Keringat dingin terus menetes melewati mata yang terpejam kuat, cengkraman tangan turut meremas kertas yang sudah lusuh. Tertera nilai delapan puluh di sana. Dua angka yang dirangkai dengan tinta merah, disertai dengan paraf bu Dena pada pojok kanan bagian atas kertas. Nilai yang mungkin akan menjadi kebanggaan kabanyakan siswa, namun belum cukup untuk menyelamatkan seorang Wasa dari amukan sang mama. Bayangan amarah itu sudah terngiang di otak, mengerikan jika kembali teringat.
"Kamu pikir orang akan melihatmu jika terus mendapat posisi di bawah, hah?!" Cambukan ikat pinggang yang sebelumnya diambil paksa dari pinggangnya oleh perempuan itu lagi-lagi terasa menyakitkan saat tersabit ke punggung jangkungnya.
"Jangan harap mereka akan setia di samping kamu, Sa! Kamu akan dilihat jika mendapat posisi pertama! Posisi pertama! Jika kamu ingin orang lain selalu di sampingmu, maka jadilah orang yang pertama!" Cambukan kesekian tidak sengaja mengenai pipi lelaki itu, ia mengerang tertahan. Tidak berani membantah dan melonggar kata. Setitik air mata tidak bisa lagi dibendung manik cokelat gelapnya.
"Anak bodoh! Makanya belajar yang benar! Kalau semester ini kamu peringkat dua lagi, jangan harap Mama akan memberikanmu izin untuk liburan ke rumah Rian! Ingat itu Wasa!"
Setelahnya pintu kamar dibanting dengan keras meninggalkan lelaki berpiyama itu sendirian di kamarnya yang temaram, tubuh Wasa yang terduduk lemas sedikit bergetar. Pipinya terjiplak warna merah memanjang hingga ke dagu, jejak libasan ikat pinggang yang kesekian. Tertatih ia beringsut menuju tepi kasur sebelum memeluk dirinya sendiri. Meski kerap mendapati kejadian serupa, air matanya tetap menetes disusul isakan tertahan.
"Wasa! Heh, sadar woi!" Guncangan di tubuh membawa kesadarannya. Agak tersentak, ia mengerjap.
"Sa? Kamu enggak apa-apa? Apa kamu sakit?" tanya Keyra khawatir. Wasa mengedarkan pandangannya, ia masih di kelas? Sepi sekali. Seingatnya sebelum bel pulang Bu Dena memberikan hasil ulangan Biologi minggu lalu, dan dia mendapat nilai delapan puluh, nilai tertinggi setelah tiga orang teman lainnya.
Lelaki beriris cokelat gelap itu yakin, mamanya akan marah jika melihat angka yang terpampang di kertas ulangannya ini, tubuhnya sudah merinding mengingat ia akan kembali ke rumah. Tanpa sadar ia meremas kuat lembar hasil ulangan yang ia genggam.
"Sa, ih! Robek nanti kertasnya," Keyra memukul tangan lelaki itu gemas, "lo ngelamun apaan, sih? Lo sakit?" Suara Keyra kembali terdengar dengan pertanyaan yang sama. Tangan perempuan itu menyampir di keningnya, bermaksud memeriksa suhu Wasa. Lelaki itu meringis, lalu menggeleng dan segera bangkit dari bangkunya. Bersiap untuk pulang.
"Ini mau pulang."
Baru saja keluar dari gerbang sekolah, Wasa kembali kalut. Seraya berjalan, ia melipat kertas ulangannya sekecil mungkin dan disembunyikan di saku tas bagian dalam. Berharap ibunya tidak mengecek tas sekolahnya seperti Selasa lalu. Lelaki berseragam batik itu mengendarai sepeda motor dengan sedikit lebih pelan dari biasanya. Selalu seperti ini ketika kejadian yang sama terjadi. Agak gundah sebenarnya, tetapi lagi dan lagi, ia harus memberanikan diri. Ketika telah memarkirkan motor di samping rumah dan menginjak teras, Wasa ragu untuk masuk. Sesekali mencoba mengatur nafas dan ekspresi agar terlihat baik-baik saja. Mamanya yang sangat peka terhadap ekspresi gugup atau ragu dari dirinya pasti tidak akan tinggal diam untuk langsung menginterogasi. Itu bencana. Sungguh, Ia tidak lugas kalau berbohong.
Wasa membuka pintu setelah mengucapkan salam, melangkah melewati ruang keluarga dan mendapati keadaan rumah tampak sepi. Lelaki berseragam dengan alir hijau itu menghembuskan napas lega, Mama sepertinya belum pulang. Ia segera melangkah menuju kamarnya di lantai dua dan mengganti seragamnya dengan baju santai.
Setelah mengganti baju, Wasa langsung menggambil buku kimia dan catatannya menuju kasur untuk dipelajari ulang dan mencoba beberapa soal latihan. Besok akan ada jadwal ulangan kimia, ia tidak akan membiarkan nilainya turun seperti tadi. Tidak akan pernah. Ia harus mendapatkan nilai seratus.
-Continue-
Baru awal. Sampai ketemu di part selanjutnya^^
Best regards, Sincerityrann
KAMU SEDANG MEMBACA
Do Not Repeat
Teen FictionDituntut untuk menjadi manusia yang sempurna dalam bidang akademik membuat Wasa kewalahan dengan hidupnya. Nilai seratus menjadi hukum wajib agar terhindar dari amukan sang mama. ************************************ Hidup sebagai anak laki-laki sema...