Cerpen (the end)

496 12 11
                                    

Sore itu, angin semilir berhembus begitu sejuk. Tiga orang remaja sedang duduk di bawah rimbunnya pepohonan. Di tepi pantai, angin laut bertiup senada dengan irama gelombang. Hari yang semakin larut, membuat beberapa pengunjung pergi meninggalkan keindahan itu satu per satu. Tapi, tak terkecuali tiga orang remaja yang masih bersantai terpikat indahnya mahakarya sang pencipta. “Bagaimana kalau kita menginap di sini saja? Kita akan mencari penginapan di sekitar sini, lagipula tempat ini sangat indah dan juga sulit dicapai.” Kata seorang remaja laki-laki berkacamata. Teman-teman lainnya hanya diam menatapnya dengan wajah gusar. “Apa? Eh, kita baru sekali datang ke sini, belum tahu apa-apa, dan belum tahu siapa-siapa! Jangan aneh-aneh! Pokoknya kita pulang sekarang, lihat! Pantai sudah sepi!” kata remaja perempuan berambut ikal.

 “Hei! Perjalanan dari kota ke tempat ini, sekitar 3 jam! Bayangkan keindahan ini, harus kita nikmati, sehari saja kok! Kalau kita pergi, kan mubazir!” balas laki-laki berkacamata itu lagi.

 “Arman! Aku tahu kamu itu penggila wisata! Tapi, kita baru beberapa jam di daerah ini, dan tak kenal siapapun! Ini lebih dari mengerikan!” kata gadis itu membalas.

 “Sudah jangan ribut! Oke Arman kita menginap di sini, tapi sehari saja, dan kalau ke tempat wisata lainnya, tidak akan ada kata menginap lagi!” kata laki-laki bertampang seperti olahragawan, yang tinggi dan kuat.

 “Tapi, kak! Aku kan takut!” kata gadis itu dengan memelas.

 “Tenanglah dik! Aku pasti menjagamu!” balas lelaki kekar itu lagi.

 “Betul itu, apa kata Edo, ayo jangan cemberut dong Mira!” balas Arman.

Mereka pun menaiki mobil dan pergi dari pantai, mereka mencari penginapan di sekitar kawasan pantai. Dan sampailah mereka di depan rumah kosong yang terawat dan bersih.

 “Ini, pasti sebuah penginapan yang telah disediakan untuk para pengunjung! Amazing!” kata Arman. Mira hanya membalas dengan wajah cemberut penuh arti, sementara Edo mencoba memanggil-manggil sang pemilik rumah. “Permisi, pak, bu! Apakah ada orang di dalam?” kata Edo. Tiba-tiba, keluarlah seorang ibu-ibu yang berusia paruh baya, dan menyambut kedatangan mereka. “Kak, lihat! Tulisan itu ‘jangan menginap di sini, ANGKER!’ kak!” kata Mira menarik tangan Edo.

 (tak peduli)”Bu, apakah ibu pemilik rumah ini?” tanya Edo.

 “Ya, bu apakah kami boleh menginap?” tanya Arman. Wanita tua itu hanya mengangguk sambil tersenyum kecil, namun, tampak dari wajahnya yang pucat, keadaannya kurang baik. Mereka bertiga memasuki rumah itu, tanpa mempedulikan tulisan yang terpampang di depan rumah tersebut. Malam menjelang, ketiga anak muda itu melaksanakan kewajibannya menjalankan sholat di kamar tamu, yang memang tak begitu luas. Wanita tua itu, memandangi mereka dengan mata berbinar-binar. Seusai sholat, mereka hendak berpamitan untuk membeli makanan di sekitar pantai, namun lagi-lagi wanita tua itu sudah menghidangkannya. Ia mempersilahkan mereka makan dengan bahasa tubuhnya, bukan dengan ucapannya. Bahkan, malam itu ia tak mengeluarkan sepatah kata pun, ia hanya menggunakan bahasa tubuh untuk berkomunikasi dengan remaja kota itu.

Setelah makan, wanita itu menuju kamarnya, dengan gerak-geriknya, remaja-remaja itu sudah mengetahui bahwa ia akan beristirahat. Mereka pun memutuskan untuk menuju kamar yang telah disediakan untuk mereka. “Do, aneh ya ibu itu! Dia nggak pernah ngobrol sama kita!” kata Arman.

Misteri Rumah PesisirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang