Eclipse

11 8 8
                                    

Malam itu dia berjalan hanya dengan tubuh terbalut celana pendek dan jaket tipis. Rambut panjangnya yang dikuncir indah dan beberapa helai rambut berterbangan terkena angin. 

Langkah kaki membawanya ke sebuah tempat yang setiap malam tidak pernah lupa ia datangi. Tempat dimana 3 tahun lalu seseorang akan menemuinya lagi. Dia tersenyum kecil mengingatnya. Meski senyuman itu tidak tampak karena air mata yang terus mengalir dari sudut matanya.

"Kau berjanji," ucapnya lirih sambil mendudukkan dirinya di salah satu bangku. Matanya menerawang ke arah langit.

Kim Yewon saat itu menangis, menenggelamkan kepalanya ke kedua tangannya. Bergetar menahan tangis yang malah membuat nafasnya semakin sesak. Setiap hari dunia seolah mengujinya.

Bukan keinginannya untuk lahir, tetapi mengapa kesalahan itu selalu diletakkan kepadanya?

Terpaksa berhenti sekolah karena uang yang seharusnya menjadi biaya sekolahnya malah selalu menjadi uang untuk berfoya-foya ayahnya. Entah menyewa pelacur atau berjudi.

Lalu kini dirinya yang berusia 15 tahun seakan menanggung semuanya. Tidak memiliki pendidikan yang layak dan dipaksa mencari pekerjaan karena uang mereka yang telah menipis bahkan tidak cukup untuk makan seminggu ke depan.

Dia berjalan di tengah keramaian kota yang jauh dari rumahnya demi mendapat pekerjaan. Berharap ada yang mau menerima anak berumur 15 tahun tanpa latar pendidikan.

Pastinya tak ada seorangpun yang mau. Hingga malam tiba pun tidak ada yang mau memberinya pekerjaan.

Kakinya mulai sakit dan lambungnya yang sejak kemarin tidak terisi makanan membuat pakaian tipisnya basah karena keringat.

Pandangannya mengabur dan mulai menghitam.

Namun seseorang melambaikan tangan ke arahnya, keseluruhan tubuhnya yang nampak sangat indah seakan membuat Yewon mendekat tanpa sadar.

"Bagus!" ucap riang seseorang dengan pakaian indah yang berwarna putih bersih itu.

"Kenapa kamu terlihat sangat pucat?"

"Perutku sangat sakit," ucap Yewon sambil mengusap air matanya yang mengering.

"Aku punya sepotong roti jika kau mau, bagaimana?" 

Yewon mengangguk dan berterima kasih.

Mereka berdua duduk di sebuah bangku yang terletak di bawah lampu jalan yang sepi.

Yewon memakan roti itu dengan pelan, berusaha melawan perih lambungnya.

"Bagaimana? Apakah kamu memiliki masalah yang begitu berat? Ceritakan saja padaku," ucapnya tulus pada Yewon yang selesai mengunyah roti.

"Eh tapi kalau kau tidak ingin, tak apa!" imbuhnya cepat. Yewon menggeleng dan mulai bercerita. Dia bercerita dengan mata yang berkaca-kaca. Sengaja tidak menceritakan beberapa bagian yang merupakan aib keluarganya sendiri.

"Begitulah. Dan hari ini, aku terpaksa mencari pekerjaan."

"Terkadang hidup memang seperti itu. Terlalu bercanda bahkan saat melihat kita merintih. Tahanlah itu, aku tahu dan yakin kau mampu melewati ini semua."

"Terima kasih,"

"Hidupku pun seperti itu. Sekian waktu terang namun secepat kilat gelap gulita. Tetapi pasti akan menemui sisi terangnya lagi. Bersabarlah sedikit lagi!" ucapnya menyemangati Yewon yang duduk tenang di sampingnya.

"Oh tidak terasa kita sudah menghabiskan waktu yang begitu lama. Bahkan sepertinya setengah jam lagi matahari akan terbit. Kalau begitu aku harus kembali! Kau juga harus pulang! Berhati-hatilah!" 

Dia melambaikan tangan dan berjalan menjauh.

"Oh iya, aku berjanji kita akan bertemu lagi! Sepertinya saat gerhana! Dah!"

Yewon membalas lambaian tangannya sambil mengucapkan terima kasih. Perasaannya menjadi lebih ringan. Dia satu-satunya orang yang mau mendengarkan cerita Yewon.

Mengingat itu Yewon gusar di posisi duduknya.

"Kapan gerhana akan terjadi?" bisik lirihnya berulang kali.

Air matanya mengalir semakin deras. Bekas luka dikepalanya yang bahkan belum kering nampak samar di antara helai rambutnya. Luka itu didapatkannya tadi pagi karena ayahnya yang masih dibawah pengaruh alkohol.

"Menghilanglah, manusia tidak berguna!" teriak ayahnya.

Dan hingga detik ini kalimat itu berputar di kepalanya. Membuat tangannya gemetar tak karuan. Begitu banyak hal yang terjadi hari ini.

Nafasnya semakin sesak. Dia memukul-mukul dada berharap oksigen masuk lebih mudah.

Otaknya seakan berputar memikirkan banyak hal sekaligus. Sel-selnya seakan merusak satu sama lain hingga sebuah kalimat berhasil berdengung keras diotaknya.

"Menghilanglah, manusia tidak berguna!"

Yewon berdiri dengan kaki bergetar menuju tempat yang lebih sepi. Mengeluarkan sebuah benda berkilat yang memantulkan cahaya bulan.

Seluruh tubuhnya terasa sangat sakit dan tubuhnya meluruh ke tanah berumput. Darah mengucur deras dari jantungnya, membentuk kubangan.

Matanya meredup dan samar-samar dia melihat orang ingin ditemuinya terakhir kali. Orang itu semakin jelas di pandangan Yewon. Dia tersenyum lembut, seakan-akan dia kecewa namun juga tidak seharusnya kecewa.

"Gerhana," ucapnya sembari mengendikkan dagu ke atas, membuat Yewon melihat kelangit.

"Oh iya, aku berjanji kita akan bertemu lagi! Sepertinya saat gerhana! Dah!"

"Oh iya, aku berjanji kita akan bertemu lagi! Sepertinya saat gerhana! Dah!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 19, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

EclipseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang