00

69 1 1
                                    

***

Berakhir tanpa Bermula.

Usai sebelum di mulai.


Secangkir kopi di temani rintik hujan yang tampak jelas dari jendela kaca Caffe yang lumayan sepi ini membuat Rinjani semakin larut dalam pikirannya.

Rintik dari langit, memicu rintik juga di matanya yang sendu sejak berhari-hari yang lalu.

"Hubungan ini udah sangat beracun untuk tetap kita jalani dengan bentuk yang serupa, Jani."

"This shit was ended now."

Suara berat itu terngiang-ngiang ditelinga si gadis dengan rambut hitam pendek tidak sampai sebahu ini. Tanpa sadar setitik air turun membasahi pipi. Kilas kenangan tiga hari yang sudah, kembali datang menghantui pikiran.

Rinjani telah kehilangan seorang Arlan.

Yang 1,5 tahun sudah menjalani hari-hari bersamanya sebagai sepasang sahabat yang selalu mencoba untuk saling percaya dan saling memahami.

Lagu sendu yang di putar dengam volume lumayan besar terdengar sampai ke sudut-sudut caffe.

Masih terbayang jelas wajah kalut Arlan dibawah sinar lampu taman malam itu.

Matanya yang menatap Rinjani dengan kekecewaan yang mendalam.

Serta suara berat yang mulai lirih meminta sebuah pembelaan.

"Apa yang salah, Jani? Aku ga pernah percaya sama orang, sepercaya aku ke kamu."

Pertanyaan yang hanya Rinjani jawab dengan keheningan. Diam tanpa bisa bersuara memberikan penjelasan yang jelas-jelas Arlan minta dengannya saat itu.

"Kenapa kamu cerita ke Rey? Kenapa cerita ke temen-temen yang lain meskipun aku selalu bilang ke kamu please keep it for yourself?"

Tak juga ada suara.

Arlan mengeluarkan rokok untuk pertama kalinya didepan Rinjani. Laki-laki itu perokok, tetapi selalu menjaga agar Rinjani tidak pernah melihatnya meskipun gadis itu tahu jika Arlan adalah seorang perokok.

Ini pertama kalinya untuk Rinjani. Tidak pernah ia lihat Arlan menyalakan rokok di depannya secara terang-terangan. Ada yang semakin terkoyak lebar di dalam sana. Membuat Rinjani berusaha keras untuk menahan air matanya turun didepan Arlan.

Karena tak jua ada jawaban, Arlan kembali berucap,

"Aku ngajak kamu kesini bukan untuk diem loh, Jani. Please say something. Aku pengen denger pembelaan dari kamu."

Hembusan asap beraroma nikotin itu menusuk penciuman Rinjani. Mengikis oksigen bersih disekitarnya. Gadis itu tidak pernah melihat Arlan sejahat ini.

"Arlan,"

Tatapan mata Arlan langsung mengunci, membuat Rinjani yang pada saat itu merasa tertekan dan ingin segera pulang semakin takut dengan tangan yang mengepal dan bergetar.

"Aku juga butuh temen cerita. Kamu mungkin punya aku untuk cerita semuanya, tapi aku ga punya kamu untuk cerita hal itu. Arlan mikir dong, ga ada bagus-bagusnya aku cerita ke kamu kalo aku sedih kamu suka sama temenku sendiri. It's simple. Aku ga mungkin menceritakan kamu ke kamu sendiri. Karena aku ga sekuat yang kamu tahu."

"Maka Rey adalah pilihan. Tapi untuk temen-temen yang lain termasuk Aruna, itu tanpa keinginan aku. Mereka tau karena keadaannya."

Itu adalah seluruhnya yang bisa Rinjani jelaskan pada hari itu. Mungkin katakan. Karena semua niatnya bertemu Arlan hari ini sudah hancur lebur.

Arlan pun sepertinya masih tidak terima. Kesakitan Arlan mungkin banyak. Rinjani yang mengecewakannya, Aruna yang sudah tau isi hatinya, dan Rey yang telah mendengar semuanya.

Laki-laki itu merasa tolol selama ini. Dia berusaha menutupi dengan sangat baik perasaannya pada Aruna untuk menjaga berbagai hati agar tidak terluka, tetapi hati yang dijaga malah meruntuhkan seluruh usahanya.

"Kita udah terlalu lama nyakitin diri kita sendiri, Jani." ucap Arlan kala itu dengan lirih.

"I know that."

"Bener kata Rey, kita udah toxic dengan hubungan yang gak jelas. Aku mungkin bisa tahan untuk kedepannya, tapi belum tentu kamu akan tetap kuat. Let's end this shit. Kita sama-sama berhak meraih kebahagiaan kita sendiri terutama kamu."

"Aku minta maaf, Lan. Aku tahu aku salah."

"Aku maafin kamu, tapi kita gabisa berteman kayak dulu lagi. Let's friend like a friend do. Kamu akan sama dengan teman-teman kita yang lain, di mata aku."

"Makasih untuk segala support kamu buat aku, segala waktu kamu, tenaga kamu, pikiran kamu, telinga dan bahu kamu yang selalu kamu kasih buat aku. Kita cukup sampai di sini aja."

Tangis sedih itu pecah ketika Rinjani telah sampai rumah, menangis memeluk Aruna dengan begitu sedih dan terluka. Terisak sendu, hari itu adalah titik terendah Rinjani dalam hidupnya.

Rinjani yang dilepas sebelum dia sempat menggenggam.

Hanya karena cerita rumit dalam circle yang ia jalani.

Mencintai Arlan yang berstatus sahabatnya, yang ternyata mencintai Aruna yang juga sahabat Rinjani. Aruna yang sedang menjalin pendekatan dengan Rey- sahabat Arlan.

Perih.

Rinjani mengusap wajahnya dengan dua telapak tangan. Menyeka air mata dan mencoba tersenyum demi menjemput sedikit kebahagiaan.

Setidaknya dia telah lepas dari kisah tak berujung.

Dan waktunya ia memperbaiki diri dan meraih kebahagiaan lain yang sedang menunggunya.

***

SelindungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang