Eh, rupanya bulan Februari 2021 sudah lebih dari setengahnya saja. Sudah lama sekali aku tidak melanjutkan tulisan untukmu, ya.
Kau tahu, Nak? Kemarin, listrik di rumahku mengalami korslet. Aku pun sempat mengunjungi rumah nenekku yang kebanjiran ketika hujan cukup deras, dan membantu beliau mengungsi supaya bisa beristirahat di tempat yang lebih hangat. Namun, beliau seakan tidak pernah lupa untuk menyuguhkan teh hangat dan makanan enak untuk kami.
Hey, apakah saat membaca ini, dirimu masih mengalami hal yang sama seperti yang kemarin kualami?
Aku berharap, kamu tidak mengalaminya karena manusia yang hidup di zamanmu sudah menemukan cara mencegahnya, bukan karena kamu sendiri yang tidak pernah ada akibat kerusakan yang manusia zamanku lakukan. Jika begitu, kurasa ... hal tersebut bisa saja menjadi dosa peradaban. Hahaha ....Ada banyak faktor yang menyebabkan diriku menuliskan ini, terlepas apakah aku akan mempublikasikannya atau tidak. Beberapa di antaranya ... karena tahun lalu, aku "mengakhiri" tahun tersebut setelah mengungkapkan perasaanku pada seseorang. Ungkapan itu kuawali dengan memodifikasi surat dari Jean Paul Sartre kepada Simone de Beauvoir. Untunglah, orang tersebut masih sempat mengapresiasi kalimat yang kukirimkan padanya dan menjelaskan banyak hal yang bisa kusimpulkan sebagai kelebihan dan kekurangannya. Aku senang ketika bisa lebih mudah menentukan batas yang lebih jelas. Setidaknya, ada satu pintu masalah yang mulai tertutup, walaupun banyak pintu lainnya yang terbuka.
Oh iya, aku masih hidup pada zaman di mana menjadi seseorang yang berada di bawah itu tidak menyenangkan ... dan saat ini ditulis, aku mengidentifikasikan diriku sebagai seseorang yang sedang berada di bawah. Siapapun boleh memiliki standar yang berbeda soal itu, kalau aku ... sedang menganggap waktu kelulusan sebagai salah satu faktornya. Acap kali muncul rasa sakit dan ingin menangis ketika melihat orang di sekitarku selangkah lebih maju, sedangkan aku belum pernah menyentuh itu. Meskipun tidak jarang terdapat perdebatan batin yang mengatakan "Dua orang kakakmu mengalami rasa sakit yang berkali-kali lipat darimu, lebih baik fokus saja biar segera lulus!", tetapi rasa sakit itu tidak bisa dipungkiri walau hanya setetes air mata.
Namun, ada banyak yang bisa kupelajari selama dua hari ini. Lebih tepatnya, saat banyak distraksi yang menghalangi diriku menulis lebih banyak. Maaf jika lancang, tetapi izinkanlah aku mengatakan bahwa diriku masih diberikan kesempatan untuk sesekali belajar menjadi apa yang Gramsci sebut sebagai "intelektual organik". Kira-kira, memiliki maksud seseorang yang memahami kondisi riil, sekaligus mempunyai pengetahuan yang tidak kalah dari intelektual tradisional.
Tentang rumah nenekku yang terendam banjir ... hal itu membuatku memikirkan kembali soal tata ruang wilayah tersebut, kondisi pulau yang terancam tenggelam dalam hitungan puluhan tahun ke depan, hingga kekuasaan tuan tanah yang mulai dipinggirkan oleh pembangunan. Terlepas dari banyaknya pilihan tempat mengungsi, aku berpikiran kalau orang-orang yang terkena banjir bisa saja merasakan "sakit hati" ketika melihat rumah orang lain di dekatnya lebih kering. Oh, beberapa jam yang lalu, aku pun mendengarkan curhatan istri driver kami tentang kondisinya yang bisa dibilang jauh lebih menderita.
"Akhire tak tangisi tok," begitu katanya. 'Akhirnya, hanya kutangisi'.
"Kemarin sudah banjir, diare bolak-balik lima belas kali, udah nggak kuat berdiri lagi. Akhirnya tak tangisi tok," tuturnya. Lantas, suaminya pun menambahkan "Kalau dari luar, nggak bakalan masuk, tapi masalahnya dari dalam itu ada mata air. Jadinya malah lebih parah." Mungkin, dua cerita tentang banjir itu benar-benar harus kucatat dan kusimpulkan bahwa aku ini masih dicintai oleh Sang Pemberi Kehidupan.
Iya, pikiranku yang random ini sedang mengira bahwa aku masih dicintai. Lalu, melompat ke sebuah lagu yang belakangan sering kudengarkan dan baru kudalami makna liriknya: GOKIGEN SAYONARA (GIBUN JOHEUN ANNYEONG) yang dipopulerkan oleh IZ*ONE, terutama pada versi Korea.
Kkeuti obsneun~ haemeim soge~
Buranhaedo~ naega isseo~Pada bagian itulah yang membuatku meneteskan air mata ketika pulang dari rumah nenek malam ini. Sebab, semenjak memasuki fase skripsi yang berat dan bertambah berat, baru kali ini aku menyadari bahwa sebenarnya, aku sedang mengharapkan seseorang yang mau berbagi perhatian padaku yang sedang tersesat dan cemas. Lalu entah mengapa, sisa akhir tahun lalu kuhabiskan harapan itu bersama seseorang yang telah kusebutkan di awal. Mungkin, karena aku juga memaksakan diri untuk pergi ke luar kota demi menyelamatkan "peradaban" di sana. Tapi, lebih dari itu, aku ini sebetulnya hanya sulit menyadari bahwa ada banyak orang dan hal baik di sekitarku. Hah, lucu sekali jika mengingatnya.
Nak, apakah kamu yang membaca ini sedang tertawa?Oh iya, aku juga sempat mendengarkan cerita tentang Khosrow dan Shirin yang baru kudengar siang tadi. Cerita tersebut juga dikupas secara filosofis dan mengarahkan pada cinta Ilahiah. Singkat cerita, Khosrow dan Shirin merupakan dua orang yang saling jatuh cinta meskipun minim interaksi fisik. Kisah tentang kecantikan Shirin mampu membuat Khosrow dimabuk cinta, dan lukisan Khosrow dapat menjadikan Shirin merindukannya. Rasanya, aku ingin mengamini hal tersebut, Nak. Boleh saja masa laluku begitu merindukan seseorang itu, tetapi setelah mendengar cerita tersebut, aku pun merasa bahwa jarak yang memisahkan sekaligus ketiadaan pengalaman bertatap muka dengan seseorang yang sedang kurindukan itu tidak sepenuhnya buruk.
Sepertinya, sudah tidak baik untuk meromantisasi yang pernah kualami secara berlebihan. Sebab, aku sedang menebak-nebak tentang jalan cerita macam apa yang akan kulalui ke depannya. Namun, alih-alih menantikan takdir berbicara, bukankah lebih baik membenahi pola pikir dan berusaha menentukan nasib milikku sendiri, Nak? Kau juga setuju, bukan?
Nak, mungkin saja nasihatku ini terlalu kuno untuk diikuti. Aku juga tidak mau memaksakan segala hal yang sudah tidak relevan di zamanmu. Namun, zaman di saat aku hidup senantiasa menekankan para penghuninya untuk berusaha. Seperti apapun suasana hatimu saat membaca ini, semoga saja engkau terprovokasi untuk berbuat kebaikan bagi sesamamu. Bergeraklah, sekecil apapun juga. Hasilnya mungkin saja sedikit, tapi rasanya abadi.
Mengalami transisi dari masa konvensional ke era digital itu cukup mengagetkan, Nak. Entah apa namanya di zamanmu, ada banyak hal unik yang mungkin saja terjadi. Walaupun aku tidak mengalami yang sebegitu canggih, tetap saja setiap cerita yang manusia alami adalah keunikan yang tidak akan terjadi pada manusia lain secara persis. Misalnya, jatuh cinta pada seseorang yang belum pernah kautemui sebelumnya. Merasa nyaman dan lebih bebas untuk mengungkapkan hal-hal yang sering kausembunyikan dari orang-orang di dunia nyatamu ... adalah sesuatu yang tidak bisa dipungkiri. Namun, bukan berarti kamu bisa seenaknya saja mengabaikan yang sudah lebih lama ada. Harus ada keseimbangan dalam menjalankannya.
Ah, sudahlah. Maaf jika nenek moyangmu yang satu ini banyak ngelanturnya.
Jangan ragu untuk berbagi, ya. Sampaikanlah salam dariku untuk generasimu!
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat untuk Masa Depan
RandomUntukmu, yang membaca ini 21 abad lagi. Dari nenek moyangmu yang kebingungan dengan kehidupannya sendiri saat abad 21. Mari bertanya.