6. Tengah Malam

3 2 0
                                    


Nak, bagaimana cara menyebut 'tengah malam' pada abad yang kauhirup udaranya? Apakah masih sama dengan caraku, maupun pujangga sebelumku menyebutnya? Mungkin kau bisa mengajariku cara menyebutkannya dengan benar, sesuai apa yang manusia di abad itu yakini.

Biarkan aku bertanya, apa yang kaulakukan di tengah malam, nak? Mungkinkah kamu mengalami ketika seluruh pikiranmu masih begitu cerewet, tetapi tubuhmu sudah meminta jatah rebahannya? Atau mungkin, manusia sudah menemukan suatu teknologi yang memungkinkan mereka menulis diam-diam dalam gelap sebelum memejamkan mata?

Kalau aku, suka menulis dalam gelap. Perlahan, rasanya hal tersebut menjadi sesuatu yang biasa kulakukan. Walaupun aku juga masih perhitungan terhadapnya. Jika ada kesempatan untuk menyelesaikan pekerjaan, aku lebih memilih untuk memaksakan diri untuk itu, sambil berdalih "Lebih baik daripada nangis sebelum tidur".

"Padahal kehidupan saja sudah begitu melelahkan, mengapa saat rebahan justru memikirkan banyak hal?"

Belakangan ini, ada dua topik besar yang kubawa pada diriku sebelum tidur: Bagaimana menyelesaikan skripsi, serta Keinginan untuk hidup. Biar kujelaskan, saat aku menuliskan ini, ponselku sedang berada di tempat servis. Hal tersebut menyebabkan putusnya saluran komunikasi utamaku, sekaligus menambah berat dalam memikirkan dua hal yang kusebutkan. Lalu saat kulanjutkan kembali, aku pun terlupa dengan apa yang sebenarnya ingin kutulis.

Mungkin, poin utama dari surat ini adalah "jangan melupakan apa yang ingin kautulis."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 20, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Surat untuk Masa DepanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang