Saat melanjutkan surat ini, sebetulnya aku bingung, harus melanjutkannya dengan bahasan apa. Namun, akhirnya aku memutuskan untuk memilih topik lockdown. Di hari saat kutuliskan surat ini, siapa yang tidak membahas perihal lockdown? Entah karena mereka sudah berhasil melewati proses panjang lockdown, atau mungkin karena … mereka baru merasakannya. Biar kuceritakan apa yang kualami sejak Desember 2019, nak.
Akhir tahun itu, momen yang paling kuingat adalah berkumpul hingga tengah malam di kampus untuk mengumpulkan salah satu tugas kuliah yang menerapkan standar ketat terhadap format pengumpulannya. Hal itu pula yang mencegahku pulang kampung lebih cepat. Namun, akhirnya aku bisa pulang kampung juga. Oh iya, dua hari sebelum pulang kampung, aku juga mengirimkan suatu karangan bebas untuk seseorang. Kulakukan karena terinspirasi dari salah satu bab dalam buku Nine Theories of Religion, khususnya saat membahas Max Weber yang meminta dua buah esai pada orang tuanya sebagai hadiah natal di usia 13 tahun.
Ketika sampai di kampung halaman dan menyambut tahun baru di sana, aku pun mengalami banyak kenangan indah. Walaupun, berita tentang video viral yang menampilkan pemandangan barisan apartemen yang remang-remang diiringi suara yang berbunyi “Wuhan Jiayou!” itu memenuhi media sosial dan televisi di tengah-tengah kebahagiaan yang kunikmati. Kakak perempuanku sampai bilang kalau dirinya ingin menangis saat melihat video itu. Membayangkan bagaimana anak-anak kecil yang terampas hak untuk bermainnya. Kami membahas itu di atas trotoar samping gerobak penjual susu sapi. Namun tetap saja, semuanya berjalan seperti tak ada apapun … termasuk aku.
Lalu, aku meninggalkan kampung halamanku pada bulan Februari. Hidup di negara itu, rasanya benar-benar ‘aman’. Virus itu seakan sesuatu yang tidak akan menyebar. Belum lagi, berbagai pernyataan ‘lucu’ dari pejabat negara yang ikut membentuk pikiran bahwa negara yang kutempati akan senantiasa baik-baik saja. Kami bahkan bingung, harus memakai masker atau tidak karena terjadi panic buying.
Hingga akhirnya, Maret pun tiba. Bulan di mana pertama kalinya, seseorang di Indonesia terdeteksi positif Covid-19. Namun, semuanya seakan baik-baik saja hingga minggu kedua bulan Maret. Aku pun masih sempat mengikuti pembekalan dan tes kesehatan dalam kondisi kerumunan orang. Ah, nak! Apakah yang seperti ini akan menjadi bahan cerdas cermat siswa sekolah, ataukah dongeng pengantar tidur anak-anak balita?
Semua orang panik, aku pun tak luput dari kepanikan itu. Aku mengikuti kakakku untuk kembali ke kampung halaman pada 15 Maret 2020. Rasanya seperti film horor tanpa kamera, nak. Situasinya memburuk. Saat di kampung halaman pun, bukan berarti lebih baik, tetapi kebutuhan dasar itu masih dapat terpenuhi dan terjamin. Sesuatu yang membuatku lebih marah terhadap pemerintahan, yaitu penerapan keputusan lockdown mandiri yang diambil oleh walikota di kampung halamanku.
Sebetulnya, aku setuju saja dengan keputusan itu, nak. Sayangnya, tergesa-gesa. Namun, setelah kupikir ulang, mungkin akan lebih baik ketika seluruh kota memberlakukan lockdown secara ketat bersamaan. Tanpa perlu balapan siapa yang lebih dahulu sadar.
Sayangnya, kebijakan itu tidak diberlakukan lagi sebagaimana mestinya, nak. Saat perayaan Idul Fitri, kebijakan itu dicabut. Bahkan, sehari sebelumnya terdapat pengumuman akan ada penyemprotan disinfektan ke seluruh kota dan kembang api. Walaupun akhirnya tidak jadi, tetap saja hal itu membuatku heran. Aku sampai membuat surat berisi curhatan untuknya, dan malam itu bertepatan dengan deadline salah satu tugas kuliahku.
Nak, satu hal yang paling kau inginkan saat lockdown adalah jaminan kesejahteraan. Hal itulah yang dapat kurasakan ketika ‘menghirup udara pandemi’ bersama dengan keluarga di kampung halaman. Aku pun menjalani kegiatan yang identik dengan keseruan saat penerjunan lapangan secara daring, yang cukup populer dengan istilah KKN. “Kamarku, tempat KKN-ku.” Akhir bulan Juni hingga pertengahan Agustus kulalui di rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat untuk Masa Depan
AléatoireUntukmu, yang membaca ini 21 abad lagi. Dari nenek moyangmu yang kebingungan dengan kehidupannya sendiri saat abad 21. Mari bertanya.