Jujur saja, setelah percakapanku dengan Yeonjun semalam, keesokan harinya aku sama sekali tak ingin bertatap muka dengan pemuda itu. Ibu sempat mengomeliku karena tak membantu memasak juga melewatkan sarapan.
Aku tak ingin keluar dari kamar sebelum Yeonjun pergi dari rumah ini. Titik!
Perasaanku sungguh tak tenang akibat memikirkan ucapannya semalam. Bukan hanya itu saja, aku juga bermimpi aneh kemarin, tapi sialnya aku malah lupa bagaimana mimpiku itu.
Dia gila, ya benar! Bisa-bisanya dia mengakui kalau aku ini istrinya. Padahal aku belum menikah sama sekali, apalagi dengannya yang tak kukenal sama sekali.
"KAK HAENA! BUKA PINTUNYA!"
Suara gedoran pintu juga teriakan Hejin dari luar kamar makin menghancurkan suasana hatiku.
"KAU BISA DIAM TIDAK?!" balasku tak kalah berteriak.
"PONSELKU TERTINGGAL DI DALAM!"
Hejin masih menggedor-gedor pintuku. Aku hanya diam sambil menatap ponselnya yang ada di tempat tidurku, tapi aku terlalu malas beranjak sekarang.
"KAK?!" Dia berteriak lagi, lalu disusul gedoran pintu kembali.
Aku tetap tak mau beranjak, tapi karena mulai terganggu dengan gedoran pintu dari adikku itu, mau tak mau aku bangkit—juga mengurangi risiko besar terjadinya pintu ambruk. Sambil berdecak-decak, aku menghampiri pintu dengan membawa ponselnya.
"Sudah kubilang jangan meninggalkan barangmu di kamarku! Itu makan tempat!" geramku. Ingin sekali membanting ponselnya itu.
Tapi bukannya balas marah-marah—seperti biasnya padaku, Hejin malah berteriak ke arah belakang rumah. "IBU! KAK HAENA AKHIRNYA KELUAR!"
Aku hampir membekap mulut lebar Hejin itu. Biar kukatakan bahwa suaranya sudah seperti pengeras suara yang rusak tapi dipaksa hidup dengan volume tinggi. Mengganggu ketertiban dunia, sungguh.
Belum sempat aku menyuruh adikku diam, Ibu langsung datang dengan tangan berkacak pinggang, raut wajah beliau sungguh dikuasai oleh kekesalan.
"HAENA!"
Aku terkejut mendengar bentakan itu. Beginilah suasana rumah kami saat pagi hari. Saling teriak satu sama lain tanpa peduli keadaan tetangga yang pasti terganggu.
"Kau ini, kenapa malah mengunci diri di kamar tanpa sebab, huh?" tanya Ibu.
"Iya, benar. Gara-gara Kak Haena aku harus mencuci piring, menguras bak mandi, menyapu lantai dan mengepelnya juga." Hejin ikut-ikutan berceloteh. Karena aksiku mengunci diri tadi bocah pendek itu harus menggantikan semua pekerjaanku.
Tak apa, biar dia tahu lelahnya aku ketika mengerjakan pekerjaan itu semua. Selama ini Hejin hanya kebagian menyapu lantai saja, itu pun sore hari. Jadi mendengarnya melakukan semua tugasku, aku ikut senang.
Tak menjawab pertanyaan Ibu, aku langsung mengalihkan topik. "Ayah sudah pergi?"
Helaan napas beliau keluar. "Antarlah Yeonjun kembali ke rumahnya!"
Aku berdecak. Aku ingin sekali menghindari pemuda gila itu, entah sekarang, besok, atau bahkan seterusnya. "Dia laki-laki, bisa pulang sendiri, untuk apa kuantar?"
"Yeonjun bukan orang sini, kalau dia tersesat bagaimana?"
"Dia bukan orang sini dan dia bukan bagian dari keluarga kita, untuk apa ibu peduli, sih?"
Mata Ibuku melebar. Terperangah sebab mendengar ucapanku yang memang seenaknya saja. "Kenapa kau persis seperti Ayahmu? Selalu tidak suka bila ada orang baru, pantas kalian tidak punya teman."
KAMU SEDANG MEMBACA
Red Spider Lily
Fanfiction[SLOW UPDATE] Setiap sore Haena sering ke sungai belakang rumahnya yang membatasi desa dengan hutan. Berdiam diri melihat birunya air sungai yang kadang terbias menjadi ungu. Menciptakan keindahan aneh yang tak seorang pun tahu selain dirinya sendir...