Prologue

239 40 21
                                    

"Haena, pastikan dirimu pulang sebelum ayahmu datang!"

Aku tak menoleh sama sekali setelah mendengar seruan dari Ibu di ambang pintu. Beliau pasti tahu kalau aku bakal pulang seperti biasa.

Sore ini tampak begitu luar biasa meski tanah masih basah karena hujan mengguyur hampir setengah hari. Aroma khasnya selalu kusukai, apalagi di tambah lengkungan warna-warni yang samar-samar terlihat di langit.

Banyak orang-orang mulai membuka pintu rumah dan keluar mengecek area persawahan mereka yang hampir tergenang air. Kakiku sendiri masih terus melangkah melewati tanah becek, menyusuri area persawahan, dan menikmati embusan angin.

Masih pukul tiga sore dan dua jam lagi Ayah pulang dari rumah keduanya-yang tak lain dan tak bukan adalah kandang kuda. Ibu menyebutnya demikian karena memang Ayah lebih senang bergabung dengan kuda-kudanya dibandingkan dengan istri dan anak-anaknya. Bahkan Ayah rela hujan-hujanan demi memberi makan kuda miliknya pagi tadi.

Hidup di desa bagiku sangat menyenangkan. Banyak anak kecil yang selama ini menjadi teman-temanku. Meski kebanyakan remaja seumuranku lebih ingin menetap di rumah atau mungkin melanjutkan kuliah ke luar kota, tapi aku lebih memilih hidup seperti ini, membantu Ibu berkebun dan ikut memberi makan kuda milik Ayah.

Bukan hanya itu saja yang membuatku tak ingin meninggalkan tempat ini, ada satu hal, sesuatu yang mungkin tak akan pernah kudapati di kota ataupun daerah lain.

Sebuah sungai yang membatasi area sawah dengan hutan. Sungai aneh dengan air yang berwarna ungu.

Keanehan itu mungkin hanya aku saja yang menyadari. Semua anak-anak yang pernah kuajak kemari selalu bilang kalau air sungainya berwarna coklat. Bahkan Soobin, anak tetangga yang cukup dekat denganku pun berkata hal yang sama.

"Kau tidak lihat? Warnanya ungu, Soobin." Aku mencoba meyakinkannya waktu itu.

Pemuda tinggi berlesung pipi itu begitu jengkel dengan tingkahku. "Kau pikir mataku buram apa? Warnanya tidak lebih dari kolam ikan lele!"

Percayalah, Soobin sudah mendapat tamparanku waktu itu.

Aku yakin mataku masih sehat-sehat saja. Air sungai itu sungguh berwarna ungu. Tapi adikku malah bilang kalau aku perlu periksa mata karena barangkali aku buta warna.

Sudahlah.

Lebih baik diam saja. Semua orang tidak percaya denganku.

Aku menendang kerikil kecil sampai tercemplung ke dalam sungai di depanku. Jika mereka semua tak bisa melihat airnya berwarna ungu, berarti hanya aku yang diberi keistimewaan oleh Tuhan.

Kakiku menapak menuju jembatan kayu di tepi sungai. Aku mengagumi sungai ini, sungguh. Ungu adalah warna kesukaanku. Namun seberapa sering aku kemari, aku sama sekali tidak pernah menyentuh airnya. Banyak orang tua yang bilang sungai ini cukup dalam sehingga anak-anak dilarang berenang ataupun mendekatinya.

Aku di sini pun sebenarnya hanya berdiam diri, menenangkan hati, atau sekedar duduk-duduk sambil membaca buku. Ini sudah menjadi tempat favoritku sejak aku kecil, dan selama itu tak pernah ada hal-hal yang tak terduga terjadi sama sekali.

Namun sore ini, perasaanku mendadak tidak enak. Perasaan damaiku malah hilang digantikan kegelisahan. Angin berhembus menerbangkan rambutku, awan mendung kembali datang padahal tadi matahari sudah menyinari. Aku baru sampai di sini dua menit yang lalu dan sekarang cuaca memaksaku untuk cepat-cepat pulang karena tak ingin diguyur hujan.

Saat kakiku melangkah ingin meninggalkan sungai ini, suara langkah kaki lain menyapa pendengaranku. Aku berhenti. Kurasa bukan hanya aku saja yang kemari.

Tepat saat badanku berbalik lagi, jantungku seolah dicopot paksa mendapati sosok aneh yang berdiri di belakangku. Laki-laki, tinggi dan berambut hitam. Dia mengenakan kemeja panjang berwarna putih dan juga celana dengan warna yang sama, tanpa alas kaki, dan tubuh basah kuyup.

Entah itu benar orang atau bukan, bulu kudukku mendadak berdiri semua. Kepala sosok itu yang semula menunduk kini terangkat, menampilkan profil wajah yang tak pernah kulihat sama sekali.

Aku menegang. "S-siapa kau?" tanyaku langsung. Mataku masih mengamatinya dari atas sampai bawah.

Aku menelan ludah beberapa kali. Tubuhku mendadak tidak bisa digerakkan. Sempat bertanya-tanya dari mana pemuda ini datang padahal tidak ada siapa-siapa tadi.

"Aku menunggu waktu ini," jawabnya sukses membuatku tersentak karena dia berbicara.

Alisku mengerut tak paham dengan jawabannya itu. "Maaf, aku bertanya siapa kau?"

Pemuda itu malah tersenyum-begitu hangat sampai membuatku hampir terpesona dengan lengkungan indah itu.

"Aku Choi Yeonjun," jawabnya.

Dalam lima detik yang berlalu, aku hanya bisa mematung dengan jantung yang masih berdegup cepat. Mataku kembali memandangi tatanan pemuda yang bernama Choi Yeonjun itu dari atas sampai bawah.

Mengambil napas, aku mulai melemaskan tubuhku yang tegang karena presensinya. "Apa kau tersesat?"

Aku yakin dia bukan orang sini. Asumsiku mengatakan kalau dia mungkin sedang liburan atau apa pun, kehilangan sepatu, terguyur hujan sampai basah kuyup, dan berakhir tersesat sampai berada di sini.

Masih dengan senyumnya, dia kembali menjawab, "Tidak, aku sudah kembali ke rumahku."

Dia mendekat tiba-tiba, membuatku memasang posisi waspada karena bagaimanapun aku sama sekali tidak mengenalnya-berjaga-jaga kalau dia ingin menyakitiku atau berbuat macam-macam.

Namun, kecurigaanku salah karena pemuda itu malah menyodorkan setangkai bunga yang sendari tadi digenggamnya. "Untukmu," katanya. "Aku merindukanmu, Choi Haena." []

Red Spider LilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang