Pesona, terkadang tidak memiliki batasan, itu hadir entah bagaimana dan tanpa kriteria khusus. Seperti malam itu, hujan mengguyur kota Dazk dan mempertemukan Tamara dengan seseorang yang telah membuatnya terpesona. Temaram lampu di ujung jalan menampakkan siluet seorang pria dengan mantel dan topi yang sedang berdiri di depan toko roti Tony dan Morrison. Hembusan napasnya nampak seperti kabut yang berhamburan di bawah sinar lampu yang tak seberapa terang, pria itu mengantongi beberapa roti dalam kantong kertas. Tak seberapa lama seorang wanita paruh baya melintas di depan pria itu dan berhenti untuk memandangi jendela kaca toko roti sambil mengendus-endus aroma yang keluar. Dari kejauhan Tamara memperhatikan mereka. Pria bertopi menghampiri wanita paruh baya dan menawarkan beberapa roti untuk diambil, tanpa basa-basi menolak, wanita itu meraih dua buah roti dari kantong dan berterima kasih untuk kebaikan yang telah menyelamatkan perut laparnya malam itu. Tamara tersenyum, rasanya ia jatuh cinta pada pandangan pertama.
Langkah panjang diambil tuan bertopi menuju jalanan sepi ke Yars Avenue dan berbelok di blok kedua, Tamara mengikutinya diam-diam. Kebetulan jalan ini satu arah dengan asrama yang ia tinggali. Ya, hari itu Tamara kabur dari asrama tanpa izin untuk sekadar berjalan-jalan di pasar. Tak ada satu pun teman yang mau ia ajak keluar, alasan mereka tentu karena ajakan Tamara menyalahi aturan yang ada. Di sekolah khusus perempuan Lady Antoniette, Tamara bersekolah dan tahun ini adalah tahun keduanya. Sekolah itu terkenal dengan aturan yang ketat dan menomor satukan kedispilinan. Hanya anak-anak masyarakat kelas menengah atas yang dapat bersekolah di sini.
Tamara terkejut saat pria bertopi itu berhenti di depan gerbang asrama dan bercakap-cakap dengan penjaga gerbang, ia masuk setelah dibukakan gerbang oleh penjaga. Tamara tidak bisa masuk lewat gerbang, ia harus berputar ke pagar belakang dan merayap dengan susah payah. Di tengah hujan yang mulai diwarnai petir, Tamara melemparkan tasnya terlebih dahulu ke balik pagar, kemudian ia menginjakkan kaki pada kayu-kayu pohon tumbang yang ia kumpulkan untuk mempermudah proses penaklukan pagar tinggi itu. Gadis itu berhasil naik hingga puncak, setelah itu ia melompat setelah bergelantungan tangan. Tak seperti biasa, malam itu ada seseorang yang menyambutnya di pagar, Nyonya Penelope.
"Selamat malam, Nona Quinn. Ikut saya," ujar ibu asrama Magnolia, Nyonya Penelope, di balik mantel hitam.
Kali ini Tamara tak bisa meloloskan diri lagi, ia benar-benar dalam masalah karena tertangkap basah dari pelarian. Sebenarnya Tamara cukup beruntung karena dari sekian banyak pelariannya, baru kali ini ia tertangkap oleh ibu asrama yang terkenal sangat jeli dalam menegakkan kedisiplinan. Dinding-dinding tinggi asrama yang sama menggigilnya dengan Tamara ada di kanan-kiri jalan menuju ruangan Nyonya Penelope. Api dari lilin-lilin yang menerangi jalan tak cukup besar untuk menghangatkan badan Tamara yang basah kuyup.
"Saya kira aturan asrama sudah cukup jelas untuk hukuman pelanggaran Anda, Nona Quinn."
"Nyonya Penelope, saya mohon, apa pun itu tapi jangan panggil orang tua saya."
"Aturan adalah aturan, Nona Quinn," Nyonya Penelope mengambil secarik kertas dan menuliskan beberapa kalimat, "tolong berikan stempel Anda di sini, Nona Quinn."
"Baiklah.. " Tamara meraih kertas itu dan langsung berlari kabur.
Ia berlari sekencang yang ia bisa, dentum sepatunya menggema di seluruh penjuru lorong yang sepi, tepat di persimpangan lorong ia melepas sepatu agar Nyonya Penelope tidak dapat mengikuti bunyi dari kakinya. Sesekali Tamara menengok ke belakang untuk memastikan Nyonya Penelope kehilangan jejak, meski seluruh bajunya juga basah dan meninggalkan tanda di sepanjang jalan yang ia lalui, Tamara tetap berlari sekencang mungkin hingga ia menabrak sesuatu. Hampir saja Tamara akan berteriak dan membangunkan seluruh anak yang sedang tidur. Sesuatu yang ia tabrak ternyata pria bertopi yang ia temui di depan toko roti. Pria itu mengulurkan tangan untuk membantu Tamara berdiri, Tamara meraih tangan itu dan segera melepas mantel basahnya, ia menyembunyikan mantel itu di balik meja kayu yang tak jauh darinya. Tamara berbisik pada pria bertopi untuk segera menggendongnya dan berlari sejauh mungkin.

KAMU SEDANG MEMBACA
In Another Life | One Shot Story
Любовные романыSetelah perpisahan Arthur dan Tamara adalah penantian panjang, mereka dipermainkan takdir. Sekian purnama mereka lewati tanpa temu meski sekali. Hingga jemu dan rindu menguatkan Tamara untuk pergi, ia mengabaikan kata 'terlambat' dan mengindahkan ha...