PROLOG

79 14 22
                                    

Hujan baru saja reda, dan aku yang sedang duduk di ayunan yang ada di taman belakang rumahku, menarik napas dalam-dalam untuk menghirup aroma petrikor yang tersisa.

Tenang, damai, dan melegakan dada.

Kualihkan atensiku pada jam analog yang melingkari pergelangan tangan kiriku. Waktu menunjukkan pukul 10 lewat 15 malam. Aku mendesah pelan, akhir-akhir ini aku sering lupa waktu jika sudah termenung sendirian.

Menengadahkan tangan untuk merasakan tetesan hujan yang tersisa, aku mulai memikirkan sesuatu tentang hidupku sendiri. Terkadang, aku merasa jika aku sedang tertidur dan apa yang terjadi saat ini hanyalah mimpi.

Namun sialnya, ini lebih dari mimpi. Ini asli dan tidak bisa kuhindari. Tidak kupungkiri jika memang ada hal baik yang terjadi, tetapi selebihnya tak lebih dari hal-hal yang cukup mengusik hati.

Ada banyak hal yang sudah terjadi dalam hidupku di akhir tahun ini. Banyak sekali 'kejutan' tak terduga yang membuatku nyaris tak percaya, tetapi ini nyata. Dimulai dari aku yang berhasil mendapat paralel ketiga setelah tiga bulan sebelumnya meraih First Prize Winner dalam Tokyo International Youth Music Competition (TIYMC) kategori violinis, disusul Ayah yang mengadopsi anak laki-laki yang merupakan anak dari mendiang sahabatnya, lalu adik perempuanku yang mengidap thalassaphobia, juga Bunda yang membawa anak kandungnya untuk tinggal bersama.

Oh, ada lagi! Seminggu lalu, aku baru saja putus dengan si Ketua MPK. Ingin tahu apa penyebabnya? Yang jelas bukan karena orang ketiga.

Sejujurnya, aku tidak mempermasalahkan Ayah dan Bunda yang membawa 'anak mereka' untuk tinggal bersama. Hanya saja, anak angkat Ayah adalah laki-laki paling menyebalkan yang pernah aku kenal. Sementara anak kandung Bunda adalah 'sahabat perempuan' dari salah satu mantan pacarku dan kami berdua putus dengan cara yang agak melodrama.

Sejak kecil, aku sudah tahu kalau Bunda adalah ibu sambungku. Ibu kandungku―atau seseorang yang aku panggil dengan sebutan Mama―sudah meninggal saat aku masih berusia 2 tahun. Dari pernikahan yang pertama, Ayah hanya memiliki aku sebagai anak satu-satunya. Lalu di tahun ketiga setelah kepergian Mama, Ayah menikah lagi dengan Sahanaya Coulava Maheswari―atau orang-orang lebih mengenalnya sebagai Hana Adhikari, dan dari pernikahan tersebut aku mendapat seorang adik perempuan bernama Feshika Adhisti Coulava Adhikari.

Sebuah nama yang cukup panjang.

Adhisti―atau anggota keluarga kami lebih sering memanggilnya Fefe―adalah gadis kecil yang manis dan sangat cerewet. Tanpa memandang status sebagai adik tiri, aku sangat menyayanginya melebihi diriku sendiri. Tentu saja terlepas dari anaknya yang sangat menyebalkan karena tingkah lakunya yang selalu berhasil membuatku kewalahan.

"Kenapa belum tidur?" Suara bariton dari laki-laki dewasa menyapa gendang telingaku.

Aku menoleh ke sisi kanan dan mendapati Ayah berdiri dengan segelas susu cokelat di tangan kanannya.

Spontan, bibirku melengkungkan senyuman kecil. "Belum ngantuk, Yah." Aku menjawab sambil menerima segelas susu yang diberikan Ayah. "Grazie, Dad."

Ayah bergumam berat. "Habisin, terus langsung tidur," pesannya sebelum berlalu dari pandanganku.

Begitulah Ayah. Kaku, tapi penyayang. Dingin, tapi perhatian. Merunduk untuk mengamati segelas susu cokelat yang masih mengepulkan asap, diam-diam aku bersyukur memiliki seorang ayah seperti Narendra Adhikari.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 23, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Serendipity [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang