Inilah Aku Wanita Atheis (Zen Magda)

8 2 0
                                    

Perubahan bukan karena keinginan saja,
Ada kalanya kita berubah karena keadaan yang memaksa untuk berubah.
Jangan salahkan jika aku berubah,
Karena perubahanku adalah alasan mengapa aku masih bisa bertahan hidup sampai detik ini.

Aku menyukai hingar bingar hidup ini! Kamu tidak suka? Terserah itu hidupmu bukan hidupku. Di belahan dunia manapun aku tinggal, disitulah aku akan melakukan apapun demi kebahagiaan aku sendiri, takkan peduli lagi pada orang lain, apalagi percaya untuk kemudian dicampakkan. Tuhan tidak ada ketika aku susah. Kemana dia? Bahkan aku sudah tidak percaya kebaikan Tuhan lagi. Semua yang sudah kucapai tidak ada campur tangan Tuhan, semua ini atas keringat sendiri.

Bar ternama yang megah ini, perusahaan besar yang kubangun sendiri, saham tertanam dimana-mana apakah ini dari Tuhan? Tidak! Ini semua perjuangan aku sendiri. aku telah memiliki semuanya, aku tidak butuh Tuhan. Bahkan aku tidak membutuhkan teman, hidup sendiri apakah tidak bosan? Tidak! aku sudah sedari kecil sendiri, berjuang sendiri! Lantas apalagi yang aku takutkan? aku telah memiliki semuanya, kekuasaan, kekayaan, kecantikan, apalagi? Semuanya sudah aku miliki.

Atheis? Itulah sebutan orang-orang padaku. Manusia tak beragama, tak punya kepercayaan, tak punya pendirian. Biarlah! Mereka tidak akan tahu proses panjang yang kujalani untuk mencapai pada titik ini. Aku bisa hidup karena belas kasihan orang katanya, bohong! Semua ada bayarannya. Dimana Tuhan saat itu? Aku meminta, tapi dia dimana?

Bagaimana mungkin ada orang tua yang tega membuang anaknya sendiri? Ya aku anak buangan hasil zina, itulah yang orang lain lontarkan. Aku kecewa mendapati kenyataan yang menampar itu, hidup di panti asuhan kumuh, selalu disiksa dan diperas tenaganya, hanya demi sebungkus nasi. Dimana Tuhan? Aku tidak percaya dia ada!

"Hahahahaahaha," tawa terdengar keras memenuhi seluruh isi ruangan, tidak ada yang berani berbicara sedikitpun.

"Sudahlah, hentikan mabukmu nona Zen!" teriak asisten sialan, dia selalu membuat aku kesal.

"Berisik! Pergi kau!" sarkas, tidak ada yang berani membantah. Sementara aku yang masih setengah sadar berdiri dengan terhuyung menyeret kaki mendekati gerombolan manusia yang sedang bersenang-senang dengan suara musik keras yang kencang.

"Nona! Sudah hentikan, kau harus pulang," Asisten sialan itu lagi, aku menepis tangannya yang mencoba menarikku.

"Kurang apa aku ini? Kekayaan, kekuasaan, kecantikan, sudah ada pada diriku! Tapi kenapa jiwaku masih kosong seperti ini!" teriakku membahana, bercampur dengan suara musik di bar ternama milikku sendiri.

"Hai nona cantik!" Seorang pria mendekatiku dengan seringaian yang siap melahap. Namun aku diam tak bergeming sedikitpun.

"Apakah kau mau bersenang-senang denganku?" Tatapannya lapar, dasar pria brengsek.

"Ciih!" Aku meludah di depannya. Yang diludahi mulai geram, dan menyeret tubuhku menuju ruangan yang lain. Sialnya aku sudah kehilangan kekuatan untuk kabur.

Bugh ... bugh ... bugh .... Pukulan keras yang dilayangkan asisten sialan tapi setia itu membuat pria brengsek tadi terjungkal.

"Ayo nona!" Dia menarikku keluar bar dan memasukkanku ke dalam mobil. Setelahnya aku tidak ingat apa-apa lagi.

Sinar matahari yang menyebalkan, membangunkanku dari tidur nyenyak. Rasa mual yang menggelitik perut membuatku terpaksa bangun, dan memuntahkan isi perut di kamar mandi. Ah sungguh pening kepalaku.

Tring ... bunyi pesan masuk. Mendengar suara itu langsung kusambar ponsel yang berada di meja samping tempat tidur.

[Nona, apa kau sudah siap? Meeting 1 jam lagi, kau tidak melupakannya kan?] Asisten itu lagi, tidak bisakah dia membuatku tenang sebentar.

[Hemm, aku mengingatnya. Jemput aku 30 menit lagi!] ku lempar ponsel ke arah benda kotak empuk itu.

"Bibi!" teriakku dari kamar, yang mendengar segera berlari dengan tergopoh.

"Iya nona? Kau memerlukan apa?" tanyanya dengan sesopan mungkin.

"Siapkan air hangat dan bajuku. Aku akan makan terlebih dahulu!" Aku melangkahkan kaki keluar kamar dan menuruni tangga untuk sarapan.

Tak lama kemudian bibi menuruni tangga. "Nona Zen, semuanya sudah siap."

"Ya," ucapku singkat, dan melanjutka makan tanpa suara.

Kehidupan yang membosankan. Rumah besar dengan banyak pembantu tidak membuat rumah ini ramai, kekayaan dimana-dimana tidak mempengaruhi hati yang kosong. Tidak! Ini bukan soal cinta. Bahkan jika aku mau seorang pria, pasti aku akan dengan mudah mendapatkannya. Berkencan dengan seorang pria tidak membuat hatiku tenang. Entah kenapa hati ini tetap kosong, padahal aku telah memiliki semuanya.

"Pak Rudi!" Hening tak ada sahutan, kemana asisten itu? Benar bukan dia asisten sialan. Sisi baiknya hanya ada pada kesetiaannya padaku, majikannya. Sejak aku merintis karir, dia sudah ada menemani dan mengabdikan dirinya untuk bekerja padaku.

"Maaf nona Zen, tadi saya sedang memanaskan mobil." Tatapannya memohon untuk tidak di marahi.

"Hmm, ayo!" Tidak mau banyak bicara lagi, aku memutuskan untuk segera berangkat.

Perusahaan ternama. Itulah yang mereka ucapkan jika mendengar nama perusahaan ZM Engineering, perusahaan ini bergerak di bidang kontruksi bangunan. Perusahaan besar dengan bangunan yang megah dan interior modern klasik menjadikan perusahaan ini disegani oleh perusahaan lain. Siapa yang tahu kisah dibalik perusahaan ini? Hanya aku seorang Zen Magda, pemimpin perusahaan ZM Engineering.

Anak kecil lusuh dengan baju compang-camping yang setiap harinya berkeliling di lampu merah dengan nyanyian yang menyayat hati bagi yang melihat. Bermandikan keringat yang bau, kulit menghitam karena terbakar sinar matahari, melakukannya hanya untuk sesuap nasi. Makian dan hinaan sang penjaga panti membuatnya kuat untuk melewati hari-harinya. Selalu iri melihat anak lain sekolah diantar orang tuanya.

Siapa yang tahu, kini anak kecil itu menjelma menjadi pemimpin perusahaan ZM Engineering. Tidak mudah untuk sampai di titik ini, semuanya ada bayarannya. Siapa yang tahu? Hanya aku seorang, Zen Magda.

"Selamat pagi nona," ucapan selamat pagi yang diucapkan semua karyawan serentak. Mereka berdiri dan tunduk hormat pada atasannya. Aku sengaja menyuruh mereka memanggilku dengan sebutan nona. Alasannya? Tidak ada alasan, ini perintah yang harus dilakukan.

"Hmm." Hanya itu yang ku balas, tanpa senyum.
Desas-desus tak bisa ku hindari, mereka menyebutku manusia es tak berhati. Ya aku mengakuinya, jadi untuk apa marah. Toh yang bergosip akan menderita di sisa hidupnya. Kali ini aku yang memenangkan kehidupan. Aku bisa melakukan apa saja, tidak sampai satu hari semuanya akan selesai. Jadi berhati-hatilah denganku.

"Nona Zen," panggil pak Rudi, asistenku.

"Hmm?" balasku datar masih tanpa ekspresi.

"Apa kau baik-baik saja?" tanyanya yang menyadari sesuatu.

"Ya, seperti yang kau lihat," balasku singkat tanpa melihatnya.

"Tapi saya tidak melihat bahwa anda baik-baik saja, nona." Dia manusia peka, aku memang sedang tidak baik-baik saja.

Akhir-akhir ini semakin terasa hidupku semakin kosong, tidak ada pegangan, apa karena aku tidak beragama? Ah untuk apa beragama? Toh aku juga sudah tak membutuhkan Tuhan. Aku sudah memiliki semuanya, tapi kenapa rasanya masih hampa, kosong, gersang. Akhir-akhir ini tidurku tak selalu nyaman, mimpi buruk selalu menghantui tidurku.

Aku membutuhkan obat penenang. Tapi ini bukan tentang obat resep dari dokter. Entahlah aku juga tidak tahu, aku ingin merasakan damainya hidup. Kukira setelah apa yang sudah ku dapatkan ini, hidupku akan senyaman dan sedamai yang ku bayangkan. Namun tidak ada hal yang menyenangkan dari semua ini, selain rutinitas yang padat.

"Nona, ada yang sudah menunggu anda untuk perjanjian kontrak," ucap salah satu karyawan yang bekerja di lobi.

"Ya, suruh masuk 5 menit lagi." Singkat, padat, jelas. Tidak usah bertele-tele.

"Baik, nona," ucapnya sopan, dan beranjak pergi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 21, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Aku Seorang Muslimah?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang