Derap langkah terdengar beradu dengan dinginnya lantai marmer bewarna putih. Dinding bagian kiri yang terlapisi oleh kaca terlihat sedikit berembun karena suhu musim dingin di penghujung tahun.
Seorang lelaki berperawakan tinggi menggunakan hoodie bewarna abu-abu yang bagian lengannya sedikit tertarik ke atas membuat urat-urat tegas menonjol dengan jelas di lengannya. Rambut hitam nya yang terlihat belum tertata justru membuatnya terlihat lebih tampan.
Senyum manis terukir dengan indah diwajah tampannya ketika memberi salam pada setiap orang yang ditemuinya. Sampai pada akhirnya lelaki ini sampai di ruangan yang berada diujung koridor. Ruangan dengan pintu bewarna putih tulang dengan papan nama tergantung dibagian atas yang bertuliskan "Jegan Nagendra"
Setelah pintu terbuka, maka nampaklah seorang lelaki tampan lain kini tengah terduduk manis di sofa empuk yang berada di bagian pojok ruangan.
Ketampanan yang sempurna. Keindahan yang terasa tidak nyata. Mungkin itu adalah kata yang tepat untuk menggambarkan lelaki tersebut. Mata setajam belati disertai hidung runcing dengan rahang tegas yang membingkai indah wajahnya, dan jangan lupakan bibir merah muda yang terlihat sangat ranum membuat siapapun berpikir bahwa Tuhan memberikan segala kesempurnaan ketika menciptakannya.
"Tanpa perjanjian?"
"Apakah sebegitu pentingnya dirimu Jee?"
"Tentu. Aku adalah orang yang paling penting disini. Terbukti dengan keberadaan kau di ruanganku saat ini Tuan Alvi."
Mereka adalah Jegan dan Alvi. Dalam kisah kali ini mereka disebut Vi dan Jee. Salah dua lelaki tampan yang berada di bumi. Betapa luar biasanya semesta karena telah menyatukan dua keindahan dunia.
"Sekarang katakan padaku, apa yang kau butuhkan. Kau tidak mungkin datang kemari dengan alasan hanya ingin menemuiku bukan." Jee kini tengah berdiri di hadapan Vi dengan kedua tangan yang ia masukkan kedalam saku hoodie miliknya.
"Dokumen." Ujar Vi. Ia sedikit mendongakkan kepalanya untuk menatap Jee.
"Dokumen apa yang kau maksud?" Merasa lelah jika harus terus berdiri, akhirnya Jee memutuskan untuk duduk di sisi kanan Vi.
"Kau mengerti dokumen apa yang saat ini tengah aku bicarakan Jee."
Sempat terdiam sejenak akhirnya Jee tersenyum. "Ahh baiklah malam nanti akan kukirimkan dokumen itu kerumahmu."
"Terima kasih." Ujar Vi seraya bangkit dari sofa empuk yang ia duduki. Langkahnya kini menuju meja kerja milik Jee. Tangan Vi terulur untuk mengambil sebuah bingkai foto yang terletak diatas meja kerja Jee. Didalam bingkai itu terdapat foto dirinya, Jee dan seorang wanita cantik bermata hazel dengan rambut hitam pekat sepanjang bahu disertai senyuman yang sangat manis dari bibir merah mudanya.
"Kau datang kesini hanya untuk menanyakan sesuatu yang bahkan bisa kau tanyakan melalui ponsel canggihmu itu huh?" Suara bariton milik Jee membuyarkan lamunan Vi. Tangannya meletakan bingkai foto itu kembali ditempat semula.
"Aku hanya mampir." Vi berbalik dan menatap Jee yang berada tepat di belakangnya.
"Benarkah? Kurasa kau adalah orang yang paling membenci tempat ini." Jee mengangkat sebelah alisnya seolah menandakan bahwa ia ragu dengan ucapan Vi.
"Jangan lupa untuk mengirim dokumen itu padaku. Aku harus kembali ke kantor. Banyak hal yang harus ku tangani saat ini." Vi mengabaikan pertanyaan retorik yang baru saja dilontarkan Jee kepadanya. Kini ia mengambil jas dengan warna navy miliknya yang sebelumnya tersampir di sofa milik Jee.
KAMU SEDANG MEMBACA
TACENDA
General FictionIni hanyalah kisah tentang beberapa insan manusia yang dipermainkan oleh keajaiban semesta. Kisah mengenai suatu hubungan yang sudah digariskan dengan berbagai macam kepingan luka rahasia. "Aku mencintainya. Sangat. Namun mengapa rasa ini membuatku...