Part 2

64 21 6
                                    

Berita tentang penyakit di desa sebelah tak ayal memperkeruh pikiran yang mendengarnya. Terdengar bahwa manusia tumbang satu per satu akibat penyakit aneh, di mana sebelum meninggal, tubuh mereka melebur menjadi puing-puing. Sangat tak masuk akal jika dicocokkan dengan logika.

Para warga berinisiatif untuk beralih lokasi, menelusuri setiap dataran untuk menemukan lokasi sepi-tak berpenghuni. Hari terus berganti dan tak terasa mereka telah berkelana jauh. Merasa putus asa, mereka berniat 'tuk menghentikan kegiatan. Namun, salah satu dari mereka berteriak ketika menemukan tempat bagus dengan tanaman yang subur.

Perasaan riang membara yang menciptakan senyuman berseri seakan tak pernah luntur dari wajah para warga. Segera mereka membangun rumah dan menyiapkan segala keperluan, melantunkan nyanyian kegembiraan dan menjalani kehidupan tanpa khawatir terjajah penyakit.

Mereka berpesta semalaman, hingga tak ada yang menyadari, sepasang iris mata abu-abu sedang mengawasi dari kejauhan. Dialah yang terusik dengan bisingnya nyanyian para warga. Marah? Tentu saja. Dirinya perlu beristirahat setelah seharian melatih kemampuannya. Namun, baru saja hendak tidur, kegaduhan terdengar dan membuatnya terjaga.

Dia pun memutuskan untuk pergi ke rumah Ortala, temannya. Ia hendak mengadukan tentang apa yang terjadi di sekitar tempat tinggal mereka.

"Ortala, ini aku, Lyan!" serunya kepada si pemilik rumah. Hingga waktu berlalu, tak ada jawaban dari dalam.

Apakah dia masih tidur? batin Lyan, kemudian memutuskan untuk masuk ke dalam.

"Ortala, aku langsung masuk, ya!" seru Lyan. Disibaknya tanaman rambat yang menjadi pintu rumah Ortala.

Nihil, apa yang dia cari sedang tak berada di tempat. Rasanya janggal, bahkan mentari belum muncul ke permukaan. Akhirnya, Lyan memutuskan untuk mencari keberadaan sahabatnya itu.

***

Di sisi lain, Ortala kembali berenang ke tepi telaga untuk menemani Nek Nira. Gadis itu menatap sendu tangan keriput Nek Nira yang mulai berani menyentuh dirinya. Nek Nira tersenyum lembut, air mata yang susah payah dia bendung habis berjatuhan ke tanah. Sosok itu berpindah posisi untuk lebih dekat dengan Ortala.

"Kau tidak ingin membawaku ke bawah sana, 'kan? Aku tahu. Aku tidak pantas tinggal bersama makhluk terhormat sepertimu." Nek Nira berusaha memeluk Ortala. Namun, naiad tunggal itu menolak. Ya, benar. Ortala tak punya banyak keluarga. Semuanya telah dirampas oleh ... sesuatu yang bersarang di muka bumi.

Ortala balik mengusap bahu Nek Nira sambil mengangkat sedikit sudut bibirnya. "Kami tinggal di air, kau tidak-"

Nek Nira seenaknya memotong pembicaraan Ortala, "Aku sudah bilang bahwa manusia itu dicap makhluk yang kotor! Berhenti menyela kebenaran dengan kata-kata manismu. Tinggal hitung waktu, kau memang akan membawaku ke bawah sana dan menghabisi tubuh lemah ini. Iya, 'kan?"

Ortala terdiam sejenak, sepertinya manusia yang dia kasihani ini mudah tersulut emosinya. Nek Nira menjauhkan posisi dari Ortala. Mereka sama-sama diam. Satu memikirkan tindakan ke depannya, satu lagi memikirkan keselamatan banyak nyawa.

Setelah berpikir keras, akhirnya Ortala memutuskan untuk membantu Nek Nira mengangkut air telaga setiap hari. Tentu saja dengan persyaratan Nek Nira tidak boleh menceritakan kepada siapa pun tentang keberadaan naiad yang dekat dengan manusia.

***

"Hei, lihatlah! Manusia tua itu kembali lagi! Sebenarnya apa yang dia lakukan di wilayah kita, sih?" Bisikan-bisikan semacam itu sudah mulai tersebar di kalangan para naiad.

Mereka semua merasa kesal. Sosok manusia berumur itu terlalu lama menghabiskan waktu di permukaan telaga mereka. Para naiad tak lagi bisa muncul di permukaan dengan bebas seperti biasanya.

Dari dasar telaga, tatapan tajam dari mata Lyan terfokus pada wajah keriput wanita tua yang tengah duduk di tepi telaga. Rasa curiga muncul dalam hatinya. Apa ini ada hubungannya dengan kepergian Ortala? Lyan kembali berenang mencari Ortala. Rasa curiganya memberikan semangat untuk mencari temannya itu.

***

Suara sibakan tanaman rambat terdengar, dengan senyuman kecilnya, Ortala memasuki rumah dengan tenang. Ia belum menyadari bahwa berita mengenai Nek Nira yang membatasi kesempatan para naiad untuk muncul ke permukaan menjadi bahan pembicaraan di kalangan para naiad sekarang.

Sibakan tanaman rambat kembali terdengar, tak lama setelah Ortala beristirahat di dalam rumahnya. "Hei, dari mana saja kau?" Ortala tampak tak suka dengan nada 'berbeda' yang Lyan tunjukkan. Mendapati reaksi tak memuaskan dari sahabatnya, Lyan memutuskan untuk mengubah topik dan berbincang ringan dengan Ortala.

***

Setelah puas dengan hasil pendapatnya, Nek Nira kembali menemui para warga dan mengelabui mereka pasal air telaga yang dia temukan. Nek Nira mengajak sebagian warga yang percaya akan bualannya ke telaga untuk mengangkut lebih banyak air, kemudian dijual dengan harga yang tidak main-main di kantong penduduk sekitar.

Salah satu kebohongan Nek Nira pasal air telaga milik naiad adalah air yang diambil pada waktu pertama semesta menjadi gelap, kemudian langit hanya dihiasi bintang tanpa bulan. Menandakan bahwa air tersebut dapat mencegah sekaligus menyembuhkan penyakit yang mereka hindari dari tempat tinggal yang lama.

Sebagian warga yang percaya akan perkataan Nek Nira membantu sosok itu mengangkut air setiap malam. Semenjak Nek Nira memiliki banyak asisten, Ortala tak terlihat. Lyan pun sibuk mencari gadis itu berkeliling telaga. Tidak ada yang tahu kemana gadis itu bersembunyi.

Hari demi hari silih berganti, kaum naiad yang tinggal di telaga makin cemas karena kehadiran banyak manusia di sekitar tempat tinggal mereka. Terkadang, ketika sang surya memunculkan cahaya mereka tak diperbolehkan keluar barang sebentar pun dari rumah. Dengan alasan terlihat oleh manusia.

Padahal, sebagian naiad senang keluar dari air ketika suhunya berubah menjadi sangat panas. Mereka harus bertahan pada pertahanan masing-masing yang sudah terlihat jelas rapuh.

Menyadari kekecewaan gadisnya, Nek Nira berhenti mengambil air di telaga. Pagi-pagi sekali wanita tua itu berangkat bersama para warga menuju air terjun di belakang bukit. Dengan harapan bahwa air di sana jauh lebih jernih dan tidak dihuni siapa pun.

Susah payah melakukan perjalanan, apa yang diharapkan Nek Nira benar-benar jauh dari dugaan. Di air terjun mereka menjumpai makhluk yang dipanggil naiad lagi. Meskipun jumlah mereka tak sebanding dengan warga yang percaya dengan Nek Nira. Tetapi di sini, Nek Nira tak menemukan sosok setulus Ortala.

Pikiran para warga makin kacau, ketika kaum naiad air terjun menjelaskan penyakit dan wabah yang mereka khawatirkan sebenarnya tidak pernah ada. Sekalipun penyakit seperti itu muncul, air bekas tempat tinggal para naiad tidak akan bisa menyembuhkannya. Nek Nira jatuh gelagapan, alasan yang telah dia rancang untuk mendekorasi rencananya kini telah gugur satu.

Ide lain muncul, ketika isyarat tubuh menguasai diri naiad air terjun.
================================
TBC.

Ayo beri dukungan pada para penulis! Klik tombol bintang, dan berikan komentar yang membangun. Happy reading! 😘

CarapherneliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang