Selamat Pagi.
Apa kabar? Semoga baik-baik saja.
Sepekan belakangan saya benar-benar sangat ketat jadwal kerjanya. Beruntung Senin ini punya waktu longgar yang mungkin akan saya manfaatkan untuk beristirahat dan jalan-jalan keluar. Mungkin langsung edit bab selanjutnya biar besok atau lusa bisa diunggah.
Ah, enak di kalian dong. Hehehe. Jangan cepat-cepat. Meski bab ini bakal bikin kalian minta cepat-cepat sebab ledakan twist akan ada di bab ini. Saya peringatkan.
Ekskalasi alur sudah mulai berada di tanjakan. Bab ini masih kembali ke POV Sid melanjutkan obrolan di kolam kemarin yang sama Juno. Betul, itu alurnya sebelum konser Harvi. Kalian pinter-pinter nyusun saja karena saya nggak akan menjelaskannya lagi.
Bab ini bisa menimbulkan marah, kecewa, terkejut, simpati, dan sedikit humor. Beberapa hal akan menjadi masuk akal, beberapa hal lainnya akan menyisakan pertanyaan besar.
Lagu untuk bab ini Die Alone by FINNEAS. Lagu ini pernah digunakan ketika Ibu Sid meninggal. Suasannya nggak sama persis, tapi lagu ini sangat mendukung untuk bab ini.
So, without further ado, let's go! Have a pleasant read!
Bantu saya temukan typo.
*****
**********08 - The Tower
[Sidney]
Di sebelah gue Lexi sedang tertidur lelap. Juno sudah kembali ke kamarnya menyusul Art. Sementara gue masih membuka mata dan mempertimbangkan perkataan Juno tentang Kansas. Setelah beberapa kali penyangkalan, Juno menjelaskan beberapa alasan yang membuat gue perlu mempertanyakan lagi apa yang gue percayai. Apa selama ini gue sudah jadi Ayah yang baik? Bagaimana jika gue adalah sosok yang tidak begitu mengenal anak gue sendiri? Orang bijak berkata, seorang ibu mengandung anaknya dalam perut selama sembilan bulan, tapi seorang ayah mengandung anaknya selamanya, dalam pikiran.
Saat gue masih terjaga dan bergulat dalam pikiran, gue mendengar suara benturan di jendela kamar Kansas. Bukan benturan yang keras. Apa anak itu belum tidur jam segini?
Gue meraih mantel beludru sebelum berderap keluar kamar berusaha agar tidak menimbulkan bunyi yang bisa membangunkan orang-orang. Kamar kami hanya terpisah oleh ruang santai keluarga yang cukup luas dan sama-sama di lantai dua. Sementara kamar tamu ada di lantai bawah. Jadi tak perlu waktu lama untuk mencapai kamar Kansas.
Gue masih ingat, saat tadi gue kembali ke kamar setelah ngobrol sama Juno, kamar Kansas tertutup rapat dan lampunya padam. Namun sekarang terbuka selebar satu jengkal dan lampunya menyala. Gue melangkah lebih pelan. Terdengar percakapan samar-samar. Ketika gue sudah berada di depan daun pintu, gue melihat Kansas sedang berdiri berhadapan dengan seorang pria.
Gue tidak ingin langsung menyergap karena lebih penasaran sebenarnya siapa orang ini dan kenapa Kansas seolah begitu akrab dengannya. Pria itu memegangi pundak Kansas penuh perhatian. Ekspresi wajahnya, cara dia berbicara, dan tatapannya seolah begitu mengerti Kansas. Dia seperti sedang menasihati atau mengatakan kalimat yang sanggup membuat Kansas mengangguk menuruti.
Kansas tampak menangis dan menundukkan kepalanya. Pria itu bahkan menggunakan tangannya sendiri untuk mengusap air mata anak gue. Sampai kemudian mereka berpelukan begitu mesra yang bahkan Kansas tampak nyaman berada di sana. Napas gue berubah sesak dan saliva di mulut terasa getir saat melihat wajah pria itu.
"Aku besok akan menjemputmu." Hanya kalimat itu yang bisa gue dengar sebelum langkah kakinya berderap mendekati jendela.
Segera gue melengos ke ruang keluarga yang persis di sebelah kamar Kansas. Sambil terus waspada gue berdiri di dekat tirai. Lalu mengintip keluar sebab jendela kamar Kansas terbuka lebar. Dan sudah cukup itu saja untuk gue menyadari satu hal. Pria itu terbang dari jendela kamar dengan sayap yang sangat gue kenali. Gue tertegun begitu lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Under Your Spell 2
Teen FictionBerlatar di tahun 2039, sebuah kekacauan dari mantra terlarang memisahkan dunia menjadi dua sisi yang mencekam. Energi romansa gelap menyelimuti seluruh dunia tanpa bisa dicegah. Sid, Juno, Lexi, Timothy dan para generasinya harus bersesuaian menyel...