“Heh! Please jangan deket-deket! Gue udah mandi! Udah wangi! Nih, coba aja bauin ketek gue! Eh, nggak deng!” pekik Astha ketika melihat makhluk kecil berjalan di dekat ranselnya.
Astha baru saja menemukan tempat tinggal sementara yang bisa diisinya untuk beberapa hari ke depan. Sebuah kontrakan sepetak yang sudah setahun tidak berpenghuni. Setidaknya bisa ditinggali sampai urusan administrasi kepindahan sekolah selesai. Selepas itu, Astha akan mencari tempat tinggal yang lebih layak lagi, sesuai dengan tabungan yang masih dia miliki.
Astha mencari sesuatu untuk bisa mengusir makhluk kecil tersebut. Matanya menelisik melihat sekeliling, berharap mendapatkan senjata untuk mengusirnya. Senyum riang tersungging ketika mendapati sapu lidi tergantung di belakang pintu. Melebihi kecepatan cahaya, Astha melesat mengambil sapu lidi itu.
“Kya!!!” Astha memukul makhluk bernama kecoa itu tanpa ampun. Binatang berwarna cokelat yang nyaris mirip dengan bentuk buah kurma itu terkapar seketika. Hal ini membuat Astha tersenyum puas. “Coa, maafkan daku, ya!” ucap gadis itu pura-pura menyesal.
Setelah selesai membersihkan diri dan membersihkan juga beberapa bagian di kontrakan ini, akhirnya Astha dapat meluruskan punggung yang terasa nyaris patah. Sudah seharian penuh dia mencari tempat tinggal yang tak jauh dari sekolahnya nanti. Ah, itu hiperbola. Beruntung pemilik kontrakan memberikan kasur yang cukup tebal dan empuk, setidaknya Astha masih bisa merasakan kenyamanan.
Astha memejamkan mata, lalu tak lama menatap langit-langit kamar dengan tatapan menerawang. Sekelumit pikiran turut menghiasi kepala.
“Ibu, apa aku benar-benar harus mencari Ayah?” Gadis itu menelan salivanya dengan susah payah. Mengapa semua terasa begitu sesak?
“Aku takut, Ibu.” Suaranya terdengar begitu lirih.
Ini bukan persoalan mudah. Akan menjadi hal yang paling menyenangkan bagi Astha, jika dapat bertemu dengan Ayah yang selama ini dia idamkan kehadirannya. Sosok yang kata orang-orang adalah cinta pertama bagi anak perempuannya. Sayangnya, hubungan keluarga Astha tak senormal itu. Gadis itu tidak pernah mengetahui dan merasakan kehadiran sosok seorang ayah dalam hidupnya. Bahkan selama hidupnya, yang Astha tahu hanyalah sosok wanita kuat yang dipanggilnya Ibu.
Tidak sepenuhnya tahu, namun Astha mengerti apa yang terjadi pada orang tuanya di masa lalu. Astha yakin, bukan hal yang mudah bagi keduanya saat memutuskan berpisah. Teringat jelas dalam benaknya, ekspresi penuh cinta tiap kali Ibunya bercerita tentang sang Ayah tanpa sengaja. Namun, tak jarang wajah ayu itu berubah menjadi sendu tiap kali Astha kecil menanyakan keberadaan ayahnya.
Air mata perlahan meluncur di pipi Astha tanpa sadar. Banyak hal yang ditakutkan olehnya sekarang. Termasuk jika bertemu kembali dengan sang Ayah. Apakah pria itu akan mengenalinya? Apakah pria itu akan menerimanya?
“Aku takut…”
***
Astha berjalan pelan menyusuri jalanan lurus beraspal menuju sebuah ruangan yang ditunjuk pak Satpam. Ia mengedarkan pandangannya sambil menggenggam tali ransel kuat-kuat. Sebuah senyum tampak di wajahnya ketika melihat banyak gadis seumurnya sedang mengobrol satu sama lain sambil tertawa lepas. Di depan kerumunan itu terdapat lapangan basket yang dipenuhi anak lelaki sedang berebut bola lalu memasukkannya ke dalam ring.
Di sekitar lapangan, gadis-gadis dengan tampilan berlebihan bersorak kencang sambil mengangkat tangan dan melambai pada para pemain basket. Beberapa dari mereka bahkan rela berlarian membeli air minum dan mengelap keringatnya dengan suka hati.
Astha mengernyitkan dahi melihat pemandangan itu. Bukannya tak suka, hanya saja ia malu sebagai seorang perempuan. “Jadi cewek nggak ada harga dirinya banget!” gumam Astha pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
SOUHAITER : Je Serai La Pour Toi
Fanfiction"Lo hobi banget, ya, ikut campur urusan orang lain?!" desis Kavi tepat di depan telinga Astha. "Jangan sok jadi pahlawan!" Ya, ini bukan de javu. Astha mengingat semuanya. Kejadian ini sama persis dengan tragedi laki-laki dan tiga preman di minggu l...