“Jadi, besok saya udah bisa masuk kerja, Bu?” Astha berdiri di depan seorang wanita berusia sekitar empat puluhan, wajahnya masih terlihat muda—dan cantik untuk ukuran ibu-ibu.
Sore ini, Astha mencoba peruntungan untuk mendapat pekerjaan. Sudah hampir lima tempat ia sambangi, namun hasilnya nihil. Saat sedang beristirahat sejenak, matanya dengan cepat menangkap selebaran iklan yang tertempel di tiang listrik—di bawah iklan sedot WC, yaitu lowongan kerja di sebuah toko aksesoris tak jauh dari sekolahnya.
Pemilik toko tersebut, tersenyum ramah pada Astha. “Benar, Nak.” jawabnya. “Tadi nama kamu As—siapa?”
“Astha, Bu.” kata Astha cepat sambil tersenyum lebar.
“Ya sudah, kalau begitu kamu bisa ke sini setelah pulang sekolah. Gimana?”
Astha mengangguk. “Baik, Bu.”
Mata Astha kemudian menelisik ke belakang dan memperhatikan toko aksesoris yang nanti menjadi tempatnya bekerja. Dilihatnya beberapa etalase kaca dan dua buah meja kecil lengkap beserta kursi kayu berwarna putih. “Ibu kerja di sini sendiri?”
Kini giliran pemilik toko yang mengangguk lalu ikut menatap lokasi yang sedang Astha lihat. “Dulu, sih, ada satu karyawan, tapi mengundurkan diri,” jawab si Ibu. “Nak Astha sekolah di mana?”
Senyum Astha mengembang. “Di perempatan depan, Bu. Aku lupa nama SMAnya.” Astha meringis pelan mengingat dia melupakan nama sekolahnya. Murid macam apa dia?
“SMA Bagaikan Langit?”
“Nah, iya itu, Bu!”
“Anak Ibu juga sekolah di sana.”
Alis Astha terangkat. “Siapa, Bu?” Sebenarnya percuma saja Astha bertanya seperti itu, lagipula dirinya, kan, murid baru. Tidak ada seorang pun yang ia kenali saat ini.
Belum sempat pemilik toko tersebut menjawab, suara dering telepon membuatnya beralih fokus lalu tersenyum menatap Astha. “Ibu angkat telepon dulu, ya? Nak Astha kalau mau lihat-lihat ke dalam juga silakan, masuk aja. Nggak usah sungkan.”
“Tentu, Bu,” jawab Astha riang. Ibu pemilik toko ini benar-benar ramah. Astha mungkin akan nyaman bekerja di sini.
Ia berjalan mengitari etalase kaca yang menampilkan beberapa pajangan aksesoris yang dibuat toko ini. Senyum Astha kembali mengembang, tangannya meraih sebuah pin berbentuk bunga matahari.
Tak lama, Astha dengan cepat menggelengkan kepala sambil menyimpan pin itu ke tempatnya lagi. Ia lalu duduk di sebuah kursi yang juga nantinya akan ia gunakan saat bekerja. Meja kerjanya penuh dengan berbagai coretan tangan menggunakan pulpen.
Astha mengerutkan kening, satu hal yang ada di pikirannya saat itu. “Tulisannya jelek banget!”
Gadis itu benar-benar tak habis pikir, bisa-bisanya sebuah tulisan tak beraturan merusak keindahan meja kerja pertamanya. Dilihatnya sebuah gambar robot berkepala kotak, sebuah sarung tinju yang ukurannya besar sebelah, juga sebuah tulisan kecil di ujung meja.
Kerutan di keningnya sedikit berkurang dan berganti senyuman kecil di ujung bibir. Matanya berubah sendu saat membaca tulisan tersebut.
“Aku akan bahagiakan Ibun!!!”
Tulisan yang Astha baca ditulis menggunakan pensil. Terlihat jelas sebuah tekanan yang membuat meja tersebut memiliki permukaan yang tak rata. Astha pikir, sepertinya itu tulisan yang di buat oleh anak kecil berusia sekitar lima tahun, tampak jelas huruf yang digunakannya pun banyak yang terbalik.
Jari Astha mengusap tulisan itu perlahan lalu bergumam, “Kamu pasti anak baik.”
***
KAMU SEDANG MEMBACA
SOUHAITER : Je Serai La Pour Toi
Fanfiction"Lo hobi banget, ya, ikut campur urusan orang lain?!" desis Kavi tepat di depan telinga Astha. "Jangan sok jadi pahlawan!" Ya, ini bukan de javu. Astha mengingat semuanya. Kejadian ini sama persis dengan tragedi laki-laki dan tiga preman di minggu l...