"Waduhh baru juga hari pertama udah telatt" gumam anak itu.
"AYOOO CEPATTTT" sorak Guru itu
Pagi itu, hari pembagian kelas dan upacara hari pertama. Namun, tampak diujung barisan beberapa murid berada terpisah.Arsan tampak memperhatikan mereka, ia memantau apakah ada si manusia ceroboh Hamdi itu disana.
"Anak itu, kenapa melihati kami seperti itu?!" kata ku."Baik anak - anak, di ujung barisan sana ada contoh manusia yang tidak pantas ditiru"
Tampak disana orang - orang itu malu dan menundukkan muka."Anak itu? kenapa dia malah mendongak?" gumam Arsan.
Aku enggan untuk menundukkan kepala, karena aku ingin tampak berani dan bertanggung jawab."Dia bodoh, layak Hamdi." kata Arsan dalam hati.
Pengumuman kelas tiba, aku mendapatkan kelas 7E. Aku cukup semangat disana, karena aku akan menemukan banyak teman baru.
Beberapa orang sudah memperkenalkan diri, dan sekarang giliran ku.
"Haii nama saya Reza, bukan Reza Artamevia. Tapi saya, Reza Alfiandi. Saya berasal dari SD Tunas Cipta. Salam kenal.""Salam kenall.." balas murid lain.
"Reza, silahkan kembali ketempatnya" ujar Wali Kelas ku.
"Arsan, maju." sambungnya
"Selamat pagi, perkenalkan nama saya Arsan, saya berasal dari SD Harapan Bakti. Salam kenal"
Waktu itu, enggak ada yang fokus sama perkenalan bocah itu. Para siswi fokus memandang paras nya.
"Sekarang Arsan boleh kembali ke tempat nya"
"Baik, buk."Dikelas ini, ada 15 siswa dan 16 siswi. Dan, disini aku akan menjadi "Raja" nya.
"Maa.. Reza, pamit."
"Iyaaa, hati - hati jangan ngebut"
"Iyaaa, assalamualaikum"
Belum selesai Mama membalas salam ku, sudah ku tancap gas pagi itu. Aku adalah orang yang sama sekali tidak pernah menganggap rumah itu adalah rumah. Setiap kali berada dirumah, hampa rasanya. Aku sering menghabiskan waktu ku di Dojo dan bermain. Aku enggak pernah menemukan makna rumah sebenarnya. Orangtua yang sibuk dengan pekerjaannya, kurangnya waktu keluarga adalah alasan rumah itu hampa.Sesampainya di sekolah,
"Reza, ayo piket!!" sorak Devi
Cewek yang kutaksir sedari awal. Ia memiliki paras manis itu dan memiliki wawasan yang luas, aku suka itu.
"Iya, tunggu"
"Liat tuh Arsan daritadi nyampe, langsung piket"
Kata - kata itu selalu saja berhasil memperburuk hariku. Dia Arsan, orang aneh yang jarang berujar namun selalu membuat hati ku kesal. Seringkali ia dipuja, entah mengapa—tapi dia adalah musuhku kini.*bel masuk berbunyi*
"Beri salam" kata Andra ketika Bu Tika masuk ke kelas kami.
Andra adalah ketua kelas kami yang cukup cakap dalam bernegosiasi dengan para guru. Dan, aku wakilnya. Tetap saja, dikelas ini aku "Raja" nya.Selama kegiatan belajar, seperti biasa Bu Tika memberi soal di papan tulis.
"Ayo maju, kalau maju dapat nilai plus" kata - kata itu sungguh klise.
Namun, sebagian besar murid tergiur dengan itu. Tidak dengan dia, Arsan. Rata - rata murid sudah menjawab 5-6 kali, tapi tidak dengannya. Entahlah, aku tidak paham dengan cara berpikirnya. Yang aku tau, ia tak mampu.
"Ayo Arsan, maju. Nilai kamu kosong" kata Bu Tika menunjuk sebuah soal yang bahkan Devi juga tidak mampu menyelesaikannya.
Beberapa menit kemudian,
"Sudah, Buk." katanya ketus
Semua murid sontak melihat jawaban itu, sangat komplikasi tapi dia bisa. Dan disana, dia mendapat pujian.
"Coba jelasin, dong. Kita enggak bisa!" kata ku.
"Coba, nak. Jelasin biar teman nya juga paham." sambung Bu Tika.
Aku senang karena aku yakin dia hanya meniru contoh yang ada di buku tapi ia tidak tau apa maksudnya. Tapi, aku salah besar. Arsan menjelaskan semua itu dengan sangat detil dan mudah untuk dipahami. Kembali, kata - kata ku tadi menjadi bumerang sendiri bagiku. Ditambah, Devi memuji bocah itu dengan berlebihan. Itu merupakan luka yang cukup menyayat hatiku.Arsan lagi - lagi kau berhasil membuatku benci kepada mu.
4. Rival dan Teman ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Janji di Ujung Rabu
Non-FictionKisah 3 nyawa menuju dewasa yang punya mimpi untuk tumbuh bersama. selamat membaca