Aku menekan telingaku kuat-kuat dengan guling yang mengapit kepalaku. Tapi sepertinya, suara itu tak ingin luput dariku hingga pecahan juga benda yang dibanting itu terus menggema, mengusik pendengaran. Aku benci ini. Rasanya aku ingin tuli saja.
Tak ingin mendengarnya lebih lama lagi, aku keluar dari kamar. Aku ingin menghentikan semuanya. Langkahku terhenti tepat di dekat ruang makan. Semua berserakan di mana-mana. Pecahan piring, gelas, kursi yang terletak tak beraturan, sapu di atas meja, sungguh, ruang makan ini lebih parah dari kapal pecah.
Mereka masih belum menyadari keberadaanku. Keduanya sama-sama sibuk adu mulut dengan ego masing-masing. Tanganku terkepal kuat, dan sekali lagi air mataku mengalir.
Suara guci yang baru saja kubanting berhasil mengalihkan perhatian kedua orang tidak tahu malu itu. "Kenapa berhenti? Ayo lanjutin. Biar Kevi bantu pecahin barang-barang!" Sekali lagi aku memecahkan barang, kali ini vas bunga.
"Kenapa kalian diam?" Aku berteriak marah. Sungguh, aku ingin meluapkan semuanya. Persetan dengan dosa. Yang kubutuhkan saat ini adalah aku ingin mereka tahu bahwa aku tersiksa dengan pertengkaran mereka.
"Jaga sopan santunmu!"
Pandanganku fokus pada pria berkemeja biru berperawakan tinggi besar yang baru saja mengeluarkan suara baritonnya. Aku tertawa hambar mendengarnya. "Sopan santun?"
Sungguh, kata itu, kurasa sudah lama sekali aku tak menjumpainya ada di hidupku. "Maaf, Kevi nggak kenal." Aku terkekeh-kekeh dengan air mata yang terus menampakkan wujudnya.
"Kevita Fradella Guntur!" Pria itu berteriak. Tampak sekali amarah yang meletup-letup melalui otot juga wajahnya yang merah padam. Tapi aku tak peduli. Sebut saja aku kurang ajar, karena memang begitu kenyataannya.
"Kenapa? Anda tidak suka? Bukankah ini yang Anda ajarkan, Tuan Dahlan Guntur?" Sekali lagi, persetan dengan dosa. Aku melihat tangannya terkepal kuat. Tapi lagi-lagi aku tak peduli. Dipukul pun pasti rasanya hambar, tak sebanding dengan sakit batin yang kurasakan beberapa bulan terakhir ini.
"Dasar anak kurang ajar!" Aku memejamkan mata kuat-kuat, bersiap menerima pukulan dari gagang sapu yang sudah melayang di udara.
"Stop! Apa yang kamu lakukan? Kamu mau Kevi juga jadi korban atas pertengkaran kita?" Suara wanita berusia 42 tahun menginterupsi papa yang hampir saja mendaratkan benda kayu panjang itu ke tubuhku. Mataku terbuka lebar. Tak peduli pada mama yang melakukan pembelaan terhadapku, aku justru menatap nyalang pada pria yang sebelum ini tak sekali pun pernah kulawan. Ya, aku seliar itu sekarang, melawan orang tua yang sudah membesarkanku dengan kasih sayang. Tapi ini bukan salahku. Ini salah mereka, ya, mereka, orangtuaku.
"Kenapa? Pukul, Pa! Pukul, Kevi! Bunuh sekalian! Kevi muak sama kalian yang terus adu mulut! Kalian egois, nggak tahu diri!" Setelah mengatakan itu aku berlalu dari hadapan mereka, sempat sebelumnya melemparkan tatapan tidak suka. Aku tidak ingin terus berada di rumah yang sudah seperti tempat asing bagiku. Bahkan aku tidak yakin tempat itu masih pantas disebut rumah. Neraka, sepertinya itu lebih tepat.
Aku berlari menembus rintikan air yang mengalir deras dari langit tanpa memedulikan kakiku yang terluka akibat pecahan beling yang sempat aku injak. Entah ke mana kaki telanjangku hendak melangkah. Tapi yang jelas aku terus berlari, sejauh mungkin yang kubisa hingga akhirnya kakiku terasa lemas lalu terduduk di atas rerumputan. Entah bagaimana, tapi aku ada di tepi danau saat ini. Danau penuh kenangan yang sempat menjadi saksi bisu keharmonisan keluargaku sebelum semua ini terjadi.
Waktu itu, kami mengadakan camping keluarga di danau yang terletak tak jauh dari rumah kami. Tentu saja danau itu adalah danau yang aku pijak saat ini. Di hari itu pula aku merasa bahwa aku adalah penghuni bumi yang paling bahagia. Aku dan Kak Kezia berubah menjadi anak kecil. Kami bermain bola bersama papa, kejar-kejaran, bahkan kami bermain kereta api-kereta apian sambil bernyanyi. Sedangkan mama, mama sibuk membuat barbeque untuk kami. Tentu saja itu adalah hal yang sulit kulupakan. Mama dan papaku adalah manusia berkarier yang sibuk dengan dunia pekerjaannya. Papaku adalah seorang arsitek ternama yang sangat sibuk, bahkan jarang ada di rumah. Sedangkan mamaku adalah seorang CEO perusahaan kosmetik bermerk yang sering kali ke luar negeri untuk bertemu klien dan urusan bisnisnya. Meluangkan waktu tentu bukanlah hal mudah. Tapi demi ulang tahunku, mereka melakukannya. Namun, siapa sangka jika itu adalah kebahagiaan terakhir yang kumiliki?
KAMU SEDANG MEMBACA
All About Memories
Short StoryKUMPULAN CERITA PENDEK Tentang segala kenangan dari setangkup kisah pilu. Tentang masa, rasa dan asa yang tak pernah sejalan. Juga tentang aku dan kamu yang hanya ditakdirkan untuk saling menyapa di persimpangan lalu saling melanjutkan perjalanan. ...