Tiap kali memejamkan mata, ingatan itu terasa. Astaga, aku bisa gila. Aku tidak cukup konsentrasi untuk menyerap pelajaran.
"Nu, kayaknya udah dulu. Gue ga enak badan," putusku sambil membereskan buku.
Rasa canggung dan entahlah, aku berdebar. Bukan mata Wonwoo yang ku lihat melainkan bagian lain. Sadarlah, ku mohon.
"Lo ga anterin gue ke depan?"
Ah, aku hanya tidak ingin melihatnya lebih lama lagi hari ini. Jadi ku tolak dengan malas. "Nu, gue cape."
"Lemah amat. Baru gue cium-" ucapannya terpotong karena aku melempar buku asal-asalan.
Yang benar saja, aku tidak tahan dengan lelaki ini. Aku berdiri dan menarik ujung jaketnya lalu berjalan dengan langkah tak sabaran.
"Udah sana."
Setibanya di teras rumah, kita hanya memandang hujan. Iya, sedang hujan.
"Bawa mantel?"
"Ngga. Deket sama lo, gue jadi suka banget hujan."
Mesin motor Wonwoo menyala. Sebelum ia pergi, aku sudah lebih dulu menghilang di balik pintu. Perlahan ku hembuskan napas.
Bagian menyakitkan dari kejadian itu adalah Hoshi hanya bersikap dingin seperti biasa. Memangnya aku mengharapkan apa? Pria itu cemburu?
169 kata
KAMU SEDANG MEMBACA
perihal kita yang ternyata hanya angan saja || revisi
Teen FictionMenilik sejeda senggang di bawah naungan teduh awan berona malang. Jika kedua insan itu sudah tahu, seharusnya segera menepi dari perahu. Perahu beralas cinta yang terombang sedetik saja sudah menyurutkan asa. "Hujanku, kenapa berlari? Payungmu keti...