Di dunia ini banyak penyesalan besar yang bisa membuat raga dan hati sakit bersamaan. Di saat dirimu terpaksa dihadapkan dengan sebuah penyesalan tersebut, dirimu harus bisa mengambil langkah cepat dan keputusan yang seharusnya belum bisa kau buat.
Lea memejamkan mata. Potongan-potongan kecil masa lalunya kembali menghampiri. Ia menarik nafas panjang, dan berusaha untuk mengusir rasa gelisah yang sudah menghantuinya lebih dari setahun.
"Woy! Ngelamun lagi."
Matanya mengerjap kaget, ia menoleh ke samping dan melihat Jerri yang kini sudah membawa dua minuman dingin.
"Nih, minum," tawarnya. Lea langsung mengambil minuman tersebut dengan malas.
"Udah mau UN masih ngelamun aja," komentar Jerri.
Ujian ya? Bahkan memikirnya pun Lea enggan sekali.
"Lagi males belajar," sahut Lea.
"Jangan sia-siain waktu. Tiga menit itu berharga, kata pak Firman," Jerri mengingatkan. Lea hanya melihat papan tulis dengan pandangan kosong.
Jerri menghela nafas lelah. Rasanya seperti menasihati batu. Kau tau? Batu bila dilempari sesuatu pasti mental.
Jika tidak ada dia mungkin Lea yang terlihat tak bernyawa akan benar-benar tak bernyawa.
"Sabtu mau jalan ga?" Ajak Jerri.
"Katanya disuruh belajar?" Lea mencebik. Jerri terkekeh pelan.
"Sesekali gapapa, lo udah ga pernah keluar rumah abisnya. Itu kulit udah putih banget kek setan," ejek Jerri.
Spontan Lea langsung mencubit perut Jerri lalu memukul punggungnya. Jerri meringis sambil tertawa.
"Iya iya... Aduh sakit Lea! Gue jemput ya pagi-pagi."
"Kok, pagi? Mager ahh...." Keluh Lea.
"Kan gue jemput, pokoknya jam 7 lo udah siap," tegas Jerri. Lea hanya mengangguk pelan lalu mengeluarkan alat tulisnya setelah melihat bu Kia memasuki kelas.
🥀
Lea berapa kali mendengus. Ia mengutuk Jerri Atmajaya karena kesibukannya di basket yang mengakibatkan dirinya harus pulang sendiri. Dan untungnya sampai dengan selamat di rumah besar yang lebih seperti rumah hantu.
Setelah merapikan sepatu, Lea bergegas menuju kamarnya. Langkahnya sempat terhenti ketika melihat semangkuk sup hangat dan nasi di meja makan. Ia hanya meliriknya sekilas.
"Mbak, ini sup buat siapa?" teriak Lea.
"Iya non? Itu saya bikinin buat non Lea. Maaf, mbak bikinnya cuma sup soalnya tadi makanan udah di abisin nyonya sama non Nia," jawabnya pelan.
Sekali lagi Lea menarik nafas dalam-dalam. Meredam semua emosi yang ingin membludak.
"Yaudah mbak, nanti aku makan abis mandi. Tolong dianter ke kamar ya, takutnya nanti ada tikus," setelah itu Lea bergegas ke kamar dan memilih untuk berendam sebentar menjernihkan pikiran di kamar mandi.
🥀
Seorang lelaki berkepala empat itu berdiri dengan tegap. Badannya masih terlihat sempurna di balik balutan jas hitam. Wajahnya tegas dan rambut yang masih hitam, walaupun sudah sedikit memutih.
Di sampingnya berdiri perempuan yang terlihat seumuran dengan laki-laki tadi. Dengan balutan dress ala vintage berwarna salmon. Wajahnya sempurna cantik bak artis.
Perempuan itu mengulurkan tangan.
"Ini Lea ya? Cantik," pujinya. Lea hanya menganggapnya angin. Ia menyambut jabatan wanita itu.