"Pizza?"
Cengiran khas Jerri menyambut Lea. Setelah ia membuka pintu depan dengan terpaksa.
"Gue bisa sakit makan junkfood terus," keluhnya.
"Sans... Gue juga beliin salad kesukaan lo. Plus, nasi uduk," ucap Jerri bangga.
"Lo mau bikin gue gendut? Gila aja!" protesnya.
"Udah jangan banyak bacot mending sekarang ke kamar lo kita makan! Kalo ga abis, gue abisin!"
"Tuh, kan ujung-ujungnya ini semua buat lo,"
"Hey, beda dong udah cepetan yuk,"
Di kamar, Jerri sudah menyiapkan semuanya. Semua makanan sudah ia tata rapi di piring dan tinggal santap saja.
Melihat itu Lea melahap saladnya terlebih dahulu. Ia makan dengan lahap.
"Tuh, kan kelaperan," cetus Jeno.
"Iyalah, makan sup ama nasi doang. Mana seharian di sekolah panas," keluhnya. Jerri tersenyum tipis.
"Makan dah tuh, abisin juga gapapa," ujar Jeno.
"Lo gak makan?" tanya Lea.
"Kalo lo ga abis," jawab Jerri. Lea hanya mengangguk dan melanjutkan makan.
"Lagian, anak CEO tapi selalu kelaperan. Sungguh ironi," sindir Jeno.
Lea hanya terkekeh.
"Maklum, di rumah ini ada dua tikus yang selalu kelaperan. Jadi apa aja dimakan," sahut Lea. Jerri tertawa geli.
Nia sudah pergi lagi setelah memberi tau Lea kedatangan Jerri, ia langsung keluar dengan mobilnya.
Iya mobilnya, mobil hadiah ulang tahun dari papa.
Itu Nia dapatkan karena berhasil lulus di salah satu universitas ternama. Cumlaude tentu saja.
Jika dibilang iri mungkin iya. Melihat ayahnya yang seperti sangat menyayangi Nia daripada dirinya.
Ya, Lea tau diri. Ia tidak terlalu pintar, di kelas pun peringkatnya biasa saja.
"Jer, gue gak abis nih," setelah lama terdiam salah satu dari mereka akhirnya bersuara.
Jerri melirik sisa makanan yang belum dihabiskan. Tinggal 3 potong pizza.
Jerri tanpa babibu langsung menyambar kotak pizza dan menikmati sisanya.
🥀
Tadi sore Jerri sudah pulang ke rumahnya. Itupun karena ibunya sudah menelpon belasan kali.
Dan malam itu Lea hanya melamun sambil menatap dua paper bag yang belum ia sentuh dari tadi siang.
Ia mendengus, biasanya barang yang dibelikan kakaknya itu adalah sesuatu yang tidak penting. Bukannya tidak penting, hanya saja barang yang tak ia inginkan.
Dulu ia pernah dibelikan gaun, gaun indah berwarna merah dan berakhir di dalam lemarinya. Belum pernah dipakai atau mencobanya sama sekali.
"Mau pake juga percuma gue ga pernah ke kondangan," pikirnya.
Mungkin gaun itu bisa berguna jika sang ayah mengajaknya ke pertemuan bisnis yang mengikutkan sebuah keluarga.
Tapi itu tak berlaku untuk Lea. Jika ada pertemuan seperti itu, Lea selalu sibuk dengan tugas sekolahnya dan berakhir Nia yang selalu ikut pertemuan semacam itu.
Toh, Lea tak berminat.
Berbicara tentang ibu tiri. Sebenarnya, ibu tirinya bukan tipe ibu tiri jahat yang sering di drama-drama.