Shirohae
※※※※※※※
Disclaimer : Naruto milik Masashi Kisimoto
**o**
Dia memahami, pada saat itu ia tak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya berdiri layaknya patung. Rintik hujan yang berjatuhan mengiringi isak tangis orang-orang yang ada di sekitarnya. Oleh sebab apakah mereka semua bersedih? Dìa tidak berusaha menanyakan pertanyaan itu, karna ia sendiri pun tahu apa pemicunya. Di antara orang-orang yang ada, hanya dia saja yang tampak baik-baik saja, sama sekali tak mengindahkan segala kekalutan yang melanda tempat itu. Pandangannya hanya terpaku pada sesosok tubuh yang terbuju kaku di sana, bersama seorang gadis berambut merah muda yang terisak-isak sambil memeluk sosok itu.
.
Dìa memperhatikan wajah pucat itu dengan seksama. Wajah yang dulu selalu bersemangat itu kini tampak dingin, tanpa gairah, pucat dan hampa. Entah kenapa ia merasa kejadian ini seakan-akan bagai mimpi buruk, mimpi yang begitu terasa menyakiti hatinya.**Shirohae**
"Bagaimana kabar, Ayahanda hari ini Hanabi?" tanya Hinata, menghentikan celotehan Hanabi dengan misi-misi serunya, yang tampaknya hanya dia saja yang menikmati celotehan itu.
Hanabi menatap kakaknya, Hinata sedetik lamanya. Lalu katanya, "Baik. Tou-sama baik-baik saja. "
"Oh," sahut Hinata. Dia sedikit mengangkat barang belanjaan yang digendongnya.
"Sini kubantu, Nee-sama," tawar Hanabi sambil menjulurkan tangan.
Hinata mengamati uluran tangan kurus Hanabi selama sesaat. Kendati tak yakin apakah tangan sekecil itu bisa membawa barang seberat ini. Tapi akhirnya dia pun menggeleng. "Tidak perlu, Hanabi. Aku bisa melakukannya sendiri," tolaknya.
"Ayo sini." Hanabi memaksa. Gadis itu merebut barang belanjaan dipelukan Hinata.
"Hana, tidak perlu," tolak Hinata lagi, tapi Hanabi tak mengacuhkan kata-kata Hinata, dengan agak memaksa gadis itu pun berhasil meraih belanjaan Hinata.
"Nah... Begini 'kan lebih baik," katanya kemudian. Hinata menghembuskan napas pasrah. Hanabi melanjutkan. "aku tidak mengerti dengan jalan pikiran Nee-sama. Kok mau-maunya membeli apartemen itu? Padahal di rumah 'kan jauh lebih nyaman."
Mendengar kata-kata yang dilontarkan Hanabi, tarikan napas Hinata berubah memanjang. Dia memejamkan lavendernya rapat-rapat selama dua detik. Denyut jantungnya menjadi terasa nyeri, bagai ada duri yang menancap menikam ulu hatinya. Kemudian kelopak mata indah itu terbuka, menampilkan sepasang lavender yang tak punya cahaya hidup, menyorot jalanan yang agak sepi, lalu turun... Padahal sudah jelas 'kan alasan kenapa dia membeli apartemen itu. Bukankah Hanabi juga tahu tentang perasaannya pada pemilik apartemen itu sebelumnya.
"Eh, Nee-sama mau masak apa?" tanya Hanabi lagi, manakala menyadari dirinya telah salah membuka topik. Hinata tak segera menjawabnya, pandangannya menerawang jauh ke depan, ke sebuah pohon yang ada di tepi jalan.
"Hinata-nee-sama...," gumam Hanabi sambil mengamati wajah sendu sang kakak. Masih belum ada sebuah huruf atau kata yang terujar dari mulut Hinata. Dibalik wajah itu, Hanabi sangat tahu kalau ada sebuah luka yang tampak jelas, suatu luka yang barangkali telah mengubah hidup sang kakak dari yang cerah menjadi kelam, sekelam malam manakala telah sepi.
"Maaf, Nee-sama...." kata Hanabi dengan pelan sambil menundukkan kepala, merutuki keceplosan bicaranya.
Suatu helaan napas panjang kembali terdengar dari pernapasan Hinata. Gadis dua puluh enam tahun itu berhenti melangkah. Dia memandang Hanabi sambil tersenyum. "Tidak apa-apa. Ku rasa seharusnya tidak perlu dipermasalahkan. Lagi pula dia sudah pergi untuk selamanya. Hanya saja, aku suka mengenangnya. Entah sampai kapan, aku juga tak tahu. Tapi akan ku usahakan untuk bisa melihat ke masa depan lagi. Tidak lagi berdiam pada kenangan tentangnya...." katanya dengan getir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Pandora Box : The Rain Stop
FantasyHinata duduk bersandar di bingkai jendela kamarnya. Matanya memandang sendu sang surya yang mulai pergi dengan perlahan-lahan. Lavendernya meredup, seakan tak memiliki cahaya, seperti mata yang telah lama kehilangan harapan, sarat akan kesedihan. Se...