Anak yang kembali memuntahkan cairan bening melepas beanie hat-nya, lalu melempar ke arah pintu sejauh mungkin. Ia memukul-mukul kasur hingga mencengkeram seprai saat sensasi pahit menyelimuti tenggorokannya. Sial, efek kemoterapi kali ini lebih spektakuler dari sebelumnya.
Redi menghela napas panjang. Hari demi hari, imunnya semakin mengenaskan saja. Tidak hanya pening dan mual, kini ia juga lunglai tak keruan. Tulang-tulang di tubuhnya bak telah dilunakkan hingga kehabisan daya.
Seorang perawat yang tengah mengganti infus pasien di sebelahnya sontak mendekat. Namun, Redi lantas menolaknya dengan gelengan berulang. Kalau sudah seperti ini, ia tidak ingin disentuh orang lain. Bahkan, ia tidak ingin dilihat oleh siapa-siapa. Sayang, sang ibu belum memindahkannya ke ruang single agar lebih leluasa.
Pemandangan dokter yang menjentik jarum sebelum menyuntikkan obat pun menyita perhatian. Aksi yang bertujuan untuk memastikan tidak adanya udara yang masuk ke pembuluh darah itu akan tetap keren, menurut Redi. Baginya, fokus yang mereka berikan demi memastikan tidak akan terjadi emboli itu sejajar dengan adegan film super-apik.
Sedikit lebih baik, Redi lekas meletakkan nierbeken berukuran sedang di lantai, tepat berdekatan dengan nakas. Ia juga mengambil beberapa helai tisu untuk membersihkan mulutnya. Meski tidak terlalu berantakan, ia tetap risi. Tak lupa mengusap peluh yang membasahi pelipis, leher, telapak tangan dan kaki. Redi lekas berbaring, menjadikan tangannya sebagai bantal.
Lelaki yang tampak petak di beberapa sisi itu meraih ponsel yang terus bergetar. Senyumnya mengembang saat nama 'Mama Laras' muncul di layar. Ia pun segera menerima panggilan.
"Lagi di mana, Ma?"
"Di jalan, maaf telat. Kalau udah sampai, Mama langsung nyari ruangan buat kamu. Moga udah ada, ya."
Redi mengangguk, "Ok, makasih, Ma."
"Iya, keadaanmu gimana? Mau dibeliin sesuatu sekalian, gak?"
Bukannya langsung menjawab, Redi justru bangkit lalu mengambil kardigan abu-abu dari laci nakas nomor dua. Headphone yang baru ia pakai selama dua minggu juga turut serta. Perlahan, ia turun dari kasur dan berjalan keluar.
"Loh, mau ke mana, Red?"
"Cari udara segar, Ners. Bau obat bikin mualnya gila-gilaan," jawabnya saat dicegat di ambang pintu.
"Mau ditemenin, gak?"
"Gak perlu. Cuma ke depan situ, kok. Nanti ada Mama juga."
"Ok, hati-hati, ya."
Laki-laki tersebut mengangguk. Ia lekas memakai headphone dan kembali menjawab panggilan ibunya. Namun, beberapa detik kemudian sambungan itu disudahi. Ia tidak suka jika Laras berlama-lama berbincang di telepon saat mengemudi. Alih-alih karena penyakit, mati yang disebabkan oleh kecelakaan lebih ironi. Setidaknya, itu menurut Redi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alice in Hospitaland ✔
General Fiction[Pindah ke KaryaKarsa] Beasiswa Alice terancam hilang saat bertemu neuropsikiatri, mata kuliah ter-killer seantero Fakultas Kedokteran Dreamland University. Ia pun bertanya pada senior yang tahun lalu berhasil mendapat A dan mengikuti sarannya untuk...