Sumpah Janji Sumani

9 1 0
                                    


Ditepian batu besar, dalam Hutan Ngelalu. Ada seekor Kera yang sedang duduk termangu menatap dengan mata sayu berair dan penuh kekosongan. Dia duduk ditepian batu, dari matahari muncul lengkap dengan cakrawalanya sampai tenggelam disertai senjanya pula. Matahari dengan cuma-Cuma tampakkan perhiasannya, namun tanpa bergeming, bergeser, bahkan menoleh sekalipun Ia tidak terpesona akan pesona mentari, tatapannya tetap saja kosong dan layu berair.

Sang fajar akhirnya tiba kembali, cahayanya hangatkan benda yang dilewatinya termasuk Si kera yang ternyata masih membatu duduk ditepian batu dengan pesonanya. Sang fajar dengan cahayanya perlahan perlihatkan pesonanya. Aliran air mata yang tadinya mengalir deras, sekarang Cuma membekas dipipi dan mengering tersapu debu angin, sudah tidak ada air mata yang tersisa untuk dikeluarkan. Bahkan suara, yang sebelumnya perkasa mampu mengetarkan langit dan mengunturkan bumi pun juga sudah habis tidak tersisa, hanya tertinggal mulut yang masih bergerak namun membisu.

Seperti kata Pepatah, "air beriak, tanda tak dalam dan air yang tenang selalu menenggelamkan."

Begitulah keadaan Sumani, nama Si Kera yang duduk membatu dengan tatapannya saat ini. Raganya yang berwujud kera itu seakan terpenjara, tubuhnya tidak bergerak apalagi bergeser ataupun menoleh. Padahal , tidak ada satu helai rantai atau tanaman yang membatasi ruang geraknya tetapi Sumani memilih termenung dengan sikap membatu. Sikapnya itu membuat Hewan lain penghuni hutan juga pasti tertipu tidak akan ada yang menganggu apalagi memangsanya, walau benar termangsa Ia juga tidak peduli.

Sumani lebih memilih membatu dan memenjarakan lidahnya, karena semua kata yang terucap saat ini tidaklah berguna. Berhari-hari, Ia penjerakan kata bahkan secuil makanan pun sungkan untuk dimakan. Tubuhnya yang dulu berisi mulai kering keronta, bulu yang dulu cantik nan indah juga mulai kusam sudah tidak cantik, padahal ribuan pohon pisang sudah berbuah masak disampingnya. Berpikir akan menyentuh tidaklah mungkin, bahkan tergoda takkan pernah terbesit dalam pikirannya.

Raga Sumani tidak berdaya dan tidak punya kuasa menolak, karena kuasa penuh saat ini ada pada Sumani sendiri. Wujud luarnya mulai rusak karena sikap membatunya, namun wujud dalamnya masih sangat prima. Tetapi terluka, sehingga tidak mampu membedakan kenyataan dan khayalan. Pikirannya terombang-ambing akan keputusan, batinnya terombang-ambing akan kesalahan, hatinya terombang-ambing akan keyakinan, akhirnya jiwanya terguncang.

Dan kuasa Sumani sekarang ini, hanya tertuju pada satu arah yang ditatap berhari-hari . Sebidang tanah yang hamparannya tidak ada kehidupan, yang ada hanya tanah yang mengunduk antar sehasta lengkap dengan pelepah pisang dan buah pisang diatas gundukan tanah. Dan ribuan tanah yang mengunduk bagi Sumani hanyalah sarana tidak lebih, agar sukmanya bisa pergi ke masalalu dalam bayangannya, hanya sebatas bayangan.

Masalalu dalam bayangan Sumani,

Mengalir lembut mentari pagi di Hutan Ngelalu, cahayanya begitu bijaksana, penghuni hutan juga malu jika memandangnya. namun tidak dengan Sumani, yang sedang asyik terlentang diatas batu menikmati berkah cahaya Sang Mentari, sambil sedikit mengaruk pantatnya yang mulai minta digaruk. Terlalu pagi juga bagi Sumani untuk pergi cari makan, masih sangat nyaman dan sangat sayang untuk dilewatkan.

"Hei Kawan!!!, kenapa kau malah bermalas-malasan, apakah perutmu sudah tak mau merasakan makanan lagi?" suaranya terdengar mengelitik Sumani yang sedang memanjakan diri. Sumani pun bersikap tengkurap, melihat ke arah sumber suara dan ternyata itu kawan sebangsanya. Dengan senyum, Sumani menjawab, " aku tidak sedang bermalas-malasan kawan, lihatlah! Mentari sedang bahagia dengan pancarkan sinarnya," sambil menunjuk Matahari yang sedang menggerjakan tugasnya, "ayo!!!, bergabunglah bersamaku, kita rasakan bersama dan kau pasti merasakan nikmatnya," kawannya hanya bisa menggeleng keheranan, "tenang saja kawan, masalah makanan itu sudah diatur Sang pencipta, jangan kau terlalu khawatir dengan itu."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 28, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

SUMANI NJATI RAGANWhere stories live. Discover now