Kembang Api

8 1 0
                                    

Hai kawan, apa kau bisa dengar?
Iya itu, suara kembang api. Bising bukan?

Pernahkah terlintas di pikiranmu saat kembang api itu meluncur dan seseorang sedang meratapi kemalangannya. Setelah setahun, ia kembali menjadi batu karang yang diterpa dengan banyaknya ombak dan arus samudra. Karang itu tetap berdiri sambil terkikis tiap hari. Sama halnya dengan teriakan dan tangis, yang tertimbun oleh suara kembang api yang saling menyahut.

Pekan lalu ia membeli kembang api untuk merayakan tahun baru. Merebahkan dirinya di sofa setelah menyimpannya. "Hah, aku cape."

Menenggelamkan wajahnya pada bantal sofa. Memeluk erat. Tak lama ia terisak, teringat akan semua permasalahan yang telah ia terima dalam beberapa bulan lalu.

Hingga dia bingung untuk mengisi buku hariannya sebagai media curhatnya. Isi kepalanya hanya 'maaf' dan senyum manis yang bertebaran.

Kepalanya berdenyut pusing dan hidungnya pun meler. Bantal sudah basah.

"Bodoh, apa yang kau tangisi?"

Kalimat yang tertuju pada dirinya sendiri terucap dengan gamblang dari mulut kecilnya. Berjalan ke kamarmandi memastikan wajahnya tetap baik-baik saja.

Ramai, terlintas dimatanya jelas. Jalan dipenuhi warna warni lampu dan hiasan. Orang-orang beralulalang bagai gerombolan semut. Matanya berbinar melihat keindahan. Ia pun bergegas bersiap memakai mantel dan sepatu bootnya membawa tas jinjing berisi kembang api. Senyumnya sumringah membuka pintu.

Sekarang dia berada di depan keramaian. Melangkah beriringan dengan lautan manusia. Penuh dengan gurau dan bahagia. Pemandangan selama perjalanan menuju bukit dekat dengan daerah hunian. Puncak itu gelap dan sepi, hanya beberapa orang saja yang duduk di kaki bukit itu. Ia yakin hanya dirinya saja yang akan menyalakan kembang api di sana.

Puncak, di sini berhembus angin semilir membelai pipi. Ia mempersiapkan tikar untuk duduk dan mengeluarkan kembang api serta pematik api.

Hanya tinggal menghitung menit untuk mencapai puncak acara. Ia berdiri memandang kaki bukit. Pemandangan klasik, pikirnya. Tapi begitu menusuk dada. Bercucur lagi air matanya. Marah, sedih, kesal, emosinya bercampur.

"Hentikan, cukup! Kamu bisa melewatinya sekali lagi." Mengusap mata, hilangkan sedih. Mata bertaut dengan langit malam bertabur bintang walau tak terang cahayanya. Redup.

Teringat akan tujuan ia melirik pada kembang api beserta pematik, lalu menggenggamnya. Tak lama lagi ia akan menyalakan ini kembali.

Terdengar sorak-sorak. Menghitung mundur untuk malam pergantian. Suara yang menarik perhatian, tidak salah lagi. Kembang api pertama diluncurkan. Matanya tertuju pada gemerlap kembang api di langit malam. Disusul dengan kembang api lainnya. Tersenyum. Ia tersenyum melihat indahnya kembang api yang merekah. Gemuruh menutup suara sorak-sorak.

"Mengapa?" Lirihnya. Lalu dia menggenggam erat kembang api, siap untuk ia nyalakan. Cetak! Sunut terbakar. Dia mengacungkannya ke langit. Dalam genggam eratnya dia berharap permasalahan dalam setahun terakhir ikut meluncur dengan perasaan dukanya.

Swiing!

"Aaaaaaa!" Teriaknya.

Boom!

Merekah, kembang api merekah di langit. Indah, begitu indah. Senyum terukir jelas. Hingga matanya menyipit. Namun sesaat wajahnya kembali sendu. Menyadari betapa singkatnga hal indah yang ia lihat. Telinganya seakan sunyi. Hanya dirinya dan ruang kedapnya saja.

Memori itu kembali terulang. Kata 'maaf' dan senyum manis. Kembali ia memeluk dirinya di puncak itu sambil menangis lirih.

Hanya Ketikan SederhanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang