4

8 1 0
                                    

Haksa benar-benar datang menjemputku. Aku melihatnya sedang duduk di kursi panjang jurusanku sambil memainkan hapenya. Farhan yang berada di sebelahku menoleh ke arah pandanganku.

"Dijemput cowo lo?" Tanya bang Jean yang juga sudah berada di sebelahku. Farhan yang terkekeh kecil, tidak membantu sama sekali.

"Bukan pacar ku, bang." Sanggahku. Karena memang itu kenyataannya. Aku dan Haksa hanya teman. Bang Jean hanya mengangguk-angguk tapi ekspresi nya seolah tidak percaya. Untung saja dia kakak tingkatku.

"Tapi kemana mana selalu berdua, ya kan bang?" Farhan seolah-olah memancing bang Jean untuk tidak menghentikan topik ini. "Gue sampe disamperin sama si Haksa gegara nganterin Teresha pulang mulu. Kalau gak salah pas kita masih semester dua 'kan, Sha?"

Mereka tidak berniat melepaskan ku? Aku mau pulang, Haksa kesini dong ah!

"Gak apa kali Ter kalau sama si Haksa. Lagian masa depan lo terjamin tuh." Bang Jean ini belum pernah aku pukul ya?

"Ih, bang Jean mul—"

"Denara." Haksa tiba-tiba sudah mendekat ke arah ku. Aku melirik ke arah Farhan dan bang Jean, mereka sudah tersenyum mengejekku. Aku menatap mereka, meminta agar berhenti menggodaku.

"Yo, Sa!" Bang Jean menghampiri Haksa sambil berjabat tangan dan diikuti oleh Farhan. Haksa tersenyum membalas sapaan mereka. Terlihat sangat akrab padahal aku tidak pernah melihat interaksi Haksa dan bang Jean. Kalau Farhan aku pernah melihatnya sekali.

"Ngapain jauh-jauhan gitu? Kesini." Haksa memintaku mendekat. Aku berjalan ke arah mereka sambil memohon diam-diam agar bang Jean tetap tutup mulut untuk tidak melanjuti pembicaraan kami tadi.

"Bawa pulang dengan selamat sana. Udah gue jagain seharian tuh." Celoteh Farhan membuatku menyikut perutnya untuk kesekian kalinya, hari ini.

"Yoi, makasih dah jagain dia, Han. Dah ya bang, Han. Gue bawa pulang dulu anaknya." Haksa pamit pulang sambil merangkul leherku. Aku hanya bisa mengikuti langkah kakinya.

Aku melihat ke arah jam tangan dipergelangan tangan ku. Kulihat sudah jam 5 sore. Badanku sudah sangat lengket dan lelah. Butuh istirahat dan mandi.

"Kok bau matahari ya?" Haksa mengendus puncak kepalaku sambil mengernyit. Maksudnya aku yang bau?

"Sembarangan!" Aku melepaskan diri dari rangkulan Haksa. Lelaki itu puas sekali menertawakan ku hingga terduduk di lantai. Aku menoleh ke sekitar kalau saja ada orang yang lewat dan menganggap Haksa sudah tidak waras. Setidaknya aku harus bersiap untuk berpura-pura tidak mengenalnya.

"Bangun, jangan duduk disini." Aku mengulurkan tanganku untuk membantu Haksa berdiri. Haksa dengan sisa tawanya menerima uluran tanganku.

Aku hanya melihatnya dengan kesal yang di balas dengan cengiran lucunya.

"Bercanda, masih harum kok."

"Bohong."

"Beneran."

Tanganku masih belum dilepaskan oleh Haksa, aku menunjuk ke arah tangan kami. Meminta Haksa untuk melepaskan nya. Haksa hanya melirik sedikit lalu menarik ku untuk jalan kembali.

"Ayo pulang."

*

Bang Arksan biasanya di hari kerja seperti ini tidak pernah ada di rumah. Biasanya saat tengah malam, dia akan pulang. Makanya saat aku pulang dan dia sudah berada di rumah, aku sedikit terkejut.

Aku berlari ke arah bang Arksan lalu memeluk lehernya erat. Bang Arksan yang tiba-tiba mendapatkan serangan dadakan hampir saja menimpuk ku.

"Kangen abaaaang."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 11, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dandelions Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang