Chapter 1

40 0 0
                                    

Sore itu tidak seperti sore-sore biasanya. Matahari terasa lebih hangat, langit terlihat lebih jernih, suasana sekolah juga terasa lebih ceria. Good vibe memenuhi seisi sekolah di hari kamis sore yang dipenuhi tawa dan canda dari siswa-siswi yang mulai memenuhi lapangan yang entah mau main basket, pulang, atau sekadar duduk-duduk saja.

"Pertanda baik," kataku dalam hati.

Kuharap dia datang. Jika surat yang kuletakkan di kolong mejanya ia baca, seharusnya ia datang. Hampir lima menit aku menunggu di belakang sekolah, terdengar suara seseorang menghampiriku. Itu dia! Jantungku mulai memompa darah dengan tempo yang tidak beraturan ketika melihat Nana datang menghampiriku.

Ayo Ki bisa lah, udah sejauh ini loh masa mau mundur sih ah.

"Kenapa, Ki?"

"Eh, Na...udah selesai kegiatan?"

"Udah kok, kenapa Ki tiba-tiba manggil?"

'Na, gua boleh ngomong jujur ga sama lu?"

"Iya, Ki, kenapa?"

"Na, kita kan sahabatan udah lama ya, akrab banget. Gua ngerasa nyaman banget dan refreshed banget kalo lagi sama lo. Selama ini kita nge-spend waktu bareng, gua seneng banget deh dan...ya, lama-kelamaan ada rasa yang tumbuh di hati gua, Na. Di situ gua sadar kalo ternyata gua bener-bener suka sama lo, bahkan lebih kayaknya, gua sayang banget sama lo. Gua gabisa ngilangin ini, gua juga gatau mau dikemanain perasaan ini, Na. Mau ga kalo kita pacaran, Na?"

Aku mengucapkannya. Aku benar-benar tidak percaya kalau aku mengucapkannya. Nafasku berhenti sejenak dengan sendirinya menunggu apa yang akan dilemparkan kepadaku oleh dewi takdir. Rasanya lega sekali, benar-benar lega, tetapi ada juga rasa seperti bergelantungan di pinggir jurang hanya dengan satu tangan.

Sebuah senyum tipis tiba-tiba muncul dari wajah Nana. Beberapa detik dari senyuman itu terasa seperti setahun. Aku menunggu follow-up dari senyuman tipis itu dengan rasa gelisah dan penuh harap. Jantungku berdebar-debar bagai speaker dangdutan yang biasa dipakai di acara-acara kawinan dan nafasku juga masih terhenti.

"Eehhh, Ki. Gue appreciate banget sama perasaan lo ke gue. Gue juga seneng banget lo nyatain perasaan lo ke gue, tapi maaf, Ki, gue masih belum mau pacaran dulu. Jujur, gue masih nikmatin banget masa-masa sendiri dan gapunya hubungan yang mengikat sama cowok. Ki, gue seneng banget loh lo sayang sama gue kayak gini. Kita masih bisa jadi sahabat kan, Ki?"

Detik-detik yang terasa setahun tadi seperti terhenti untukku. Detak jantungku seperti berhenti sesaat dan terasa panas mengalir dari dada ke kepala melalui pembuluh-pembuluh darahku. Jleb, rasa hampa langsung memenuhi dadaku.

"Hah?" terucap kental di dalam pikiranku.

"Eh, uh, oh, yaudah deh. Bisa kok bisa hahaha masa iya kita jadi jauhan sih. Gua hargain kok keputusan lo, mungkin emang belom waktunya aja kali buat gua yak hahahahah," ucapku dengan rahang yang bergetar dan mati rasa.

"Yaudah, Ki, gue pulang dulu ya. Mau beberes rumah sama masak dulu, Ki. Mama sama Papa pulang malem soalnya."

"Iya, Na. Makasih ya, Na. Ati-ati di jalan."

"Siap, Ki! Dadaaahh."

"Dadaahh."

Setelah Nana mulai menghilang dari pandanganku, tanganku turun dari lambaian. Sekujur tubuhku sangat amat lemas. Bagian tengah dadaku terasa sangat sakit. Terasa ada energi panas yang sangat besar keluar dari tubuhku setiap aku menghela nafas.

"Sekarang apa?" tanyaku entah pada siapa dan masih dengan pikiran yang sangat kosong.

Ngeeengggg. Terdengar suara menggelegar knalpot brong dari motor yang melintas di jalanan luar sekolah. Aku terkaget dan langsung melihat jam di HP-ku.

Gawat! Jam setengah lima. Kereta yang biasa kunaiki agar sampai di rumah sebelum adzan maghrib seharusnya sebentar lagi sampai. Kuambil tas dan langsung bergegas ke stasiun yang tidak jauh dari sekolahku.

Aku berpikir sepertinya aku tetap tidak akan sampai tepat waktu, jadi aku putuskan untuk jalan santai saja. Suasana sore kota yang hangat menyelimuti indahnya senja hari kamis sore. Orang-orang berkemeja ada di mana-mana. Wajar saja, jam pulang kerja. Aku sangat suka suasana senja kota seperti ini. Rasanya kita semua berkumpul untuk pulang setelah penatnya seharian berkegiatan.

"Loh, itukan..."

Tubuhku mendadak kaku ketika melihat Nana jalan berdua dengan seorang laki-laki yang tidak kukenal memasuki sebuah hotel. Mereka terlihat sangat senang dan yang paling membuatku merasa seperti ditusuk oleh paku besar, Nana memasuki hotel yang terkenal disewa untuk "berbuat" tersebut dengan wajah yang sangat ceria seperti seorang gadis yang sedang nge-date bersama pacarnya dan seakan-akan lupa kalau ada teman dekatnya — ya setidaknya aku menganggap diriku dekat dengannya — yang baru saja menyatakan perasaanya padanya.

The Days After I Got RejectedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang