"Oy, Ki! Bengong lagi kan lu."
Suara Afif yang diikuti tepukan ringan ke pundakku membangunkanku dari lamunan yang aku sendiri tidak tahu ini dimulai sejak kapan. Afif adalah teman sebangku ku di SMA dan salah satu teman yang menurutku dekat denganku. Kami berteman sejak awal masuk SMA dan berada di kelas yang sama sejak kelas 10 hingga sekarang kelas 11. Anak dengan rambut lurus tipis yang tidak dimodelkan dengan model rambut apa-apa — tipe rambut lemas yang bergelantung pasrah di atas kepala — ini, tentu saja dia mengetahui soal Nana dan selama ini mencoba untuk menenangkanku dengan caranya.
"Ape lagi..." tanyaku dengan nada lelah.
"Udahlah, Ki. Gausah dipikirin yang waktu itu. Lu kayak gatau anak sekarang aja. Lagi juga Nana tu ga jelek, Ki. Body bagus muka begitu lu beneran mikir gaada yang mau ama dia selain lu apa? Ya yang nakal-nakalannya sih gua jg kaget, tapi ya, it is what it is."
Memang kalau diingat lagi, Afif yang menyelamatkan ku saat aku hampir tertabrak mobil setelah melihat Nana dan pasangannya saat itu. Wajar saja, bayangkan betapa kagetnya aku dan syok sekali ketika melihat semua itu di depan mata kepalaku sendiri. Aku sudah bersahabat dengan Nana sejak kami masuk SMP dan tentu saja natural untuk perasaan tumbuh di dalam diri salah satu dari kami.
Aku menghirup nafas panjang dan melupakan sejenak semua yang ada di lamunanku. Aku berpikir semua masalah ini benar-benar menghantuiku dan membuat semua jadi kacau. Aku bangkit dari tempat dudukku dan membuang nafas yang telah kutahan tadi bersama semua pikiranku yang tercampur aduk. Aku mencoba mengembalikan fokusku, walaupun rasa kosong yang menyelimutiku sampai saat ini masih mendekap di dalam dadaku.
"Oy oy mau kemane lu?"
"Kooperasi."
"Eh, woi, gua ikut lah," ucap Afif sambil bergegas menyusulku keluar kelas.
Musim panas bulan cinta, Februari, memang selalu diisi dengan hangatnya suasana sekolah, bahkan untuk aku yang sedang patah hati. Akan tetapi, jika dilihat lagi, aku masih punya diriku dan teman-temanku, Afif contohnya, yang selalu menyemangatiku dan "menamparku" ketika aku kehilangan diriku sendiri. Aku rasa itu semua sudah cukup bagiku untung melewati fase remaja yang sudah diwanti-wanti akan dipenuhi kelabilan seperti ini. Jujur, aku merasa lebih ringan setelah membuang lamunan terakhir tadi. Aku memutuskan untuk bergerak terus ke depan dan menghadapi masa laluku. Mungkin semua ini terkesan norak, tetapi inilah yang Aku rasakan saat ini.
Setelah membeli makanan ringan, Aku dan Afif mengobrol di koridor sekolah sambil menontoni kelas yang sedang berolahraga di lapangan sekolah. Padahal, saat ini bukan waktu istirahat, tetapi sekolah di Indonesia kan tidak sepadat atau sedisiplin di negara lain untuk masalah waktu, jadi guru mata pelajaran selanjutnya pun masih belum datang atau mungkin tidak datang hari ini.
"Fif, makasih yak," ucapku dengan pelan dan lega.
Afif menghela nafas dan tersenyum.
"Ah elu kek apaan aja ama gua. Udah harusnya brother kek gua gini ngasih moral support ke lu pas lu lagi butuh. Apalagi, lu bener-bener keliatan kek mau mati jir hhahaha. Ya... gua gabisa aja liat temen gua, apalagi temen baik gua kayak begini."
Aku hanya membalas Afif dengan senyum tipis.
"Gua bisa ngerti ini sucks baget sih, Ki. Wajar banget kalo lu down gitu. Apalagi si Nana juga deket sama lu dari dulu sebelum lu masuk SMA juga kan. Tapi kadang ada hal yang kita gabisa antisipasi dan kita gabisa kontrol, Ki. Kalo udah terjadi, segak-expect apapun kita terhadap kejadian itu ya kita cuma bisa ngerespon kejadian itu, gabisa diubah. Sedih wajar banget, cuma gua sebagai sahabat lu gamau ini malah jadi bikin lu kacau. Apalagi udah hampir tiga bulan begini lu."
"Hmmm," Aku bergumam setuju.
Pandangan kami tiba-tiba tertuju ke arah kelas kami yang tidak jauh dari tempat kami mengobrol. Kami melihat ada banyak orang memasuki kelas kami dengan membawa poster yang lumayan besar.
"Ah, iya udah mau acara itu ya," ucapku memecah hening kepada Afif.
"Iya, OSIS paling sosialisasi culfest."
"Yaudah balik ni?"
"Baliklah yok."
*
Aku dan Afif kembali ke kelas yang sudah dipenuhi panitia culfest yang berjajar di depan papan tulis. Seisi kelas juga sudah duduk di bangku masing-masing. Aku dan Afif segera menuju meja kami, menarik bangku dan duduk.
Culfest atau Cultural Festival adalah acara tahunan yang dilaksanakan tiap bulan Februari di sekolah kami. Setiap kelas akan mendapat undian negara atau daerah yang akan direpresentasikan budayanya selama tiga hari festival. Tentu saja, kegiatan belajar mengajar dihentikan selama tiga hari tersebut.
Suasana kelas yang tiba-tiba menjadi hening menandakan para panitia sudah selesai bersiap-siap dan akan memulai sosialisai mereka. Seperti biasa, panitia di sekolah kami memiliki kebiasaan meneriakan salam dan jargon acara ketika membuka sosialisasi mereka. Penjelasan dimulai dengan memberitahu tanggal culfest dilaksanakan dan diikuti info-info lain, serta ditutup dengan teriakan salam dan jargon divisi yang mempunyai program ini.
"Hooh, tanggal 14 kelarnya, loh. Mereka ngepasin ama legenda culfest ya..." ucap Afif dengan nada berpikir dan tangannya memegang dagu.
"Yeilah, paling juga selama ini legenda-legenda itu juga emang disengaja. Dipasin gitu. Kayak, ah tanggal 14, valentine, di culfest, enak nih kalo gua jadian," balasku.
"Hahaha, iya sih. Tapi gua cukup tertarik loh, ini yang pertama bikin culfest netapin tanggalnya sekitar tanggal-tanggal ini pasti juga pengen bikin suasananya lebih wah aja gitu. Valentine menurut gua kayak badai di laut yang datengnya pas banget sama musuh yang mau invasi."
"Sesuatu yang dimanfaatin untuk nge-support acaranya ya..."
"Iya. Mereka kan ga bayar untuk adanya valentine karena valentine udah ada dari dulu. Kalo yang buat culfest naro di tanggal-tanggal segini, otomatis culfest ini sendiri bakal terkait sama valentine day. Naikin antusias pasti."
"Hmmm, iya," ucapku dengan pelan.
"Hoy, Ki. Mungkin aja lu bisa nemu orang yang pas buat lu di culfest nanti hahahaha."
"Gausah bercanda."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Days After I Got Rejected
RomanceTaki adalah seorang siswa SMA yang cintanya baru saja ditolak oleh teman masa kecilnya. Tidak hanya ditolak, namun juga dibohongi. Namun, cerita Taki tidak beakhir di sana. Penolakan tersebut hanyalah permulaan dari cerita Taki. Cerita ini akan memb...