Bandung

4.5K 25 3
                                    

Cerpen : Mulia Maulalathif


Kemarin, aku tlah berjanji untuk patahkan asaku ini, namun sayang kenapa aku mesti begini, tertimbun dalam harapan - harapan yang entah kapan akan menghilang. 

Aku tetap memaksakan kehendak jiwaku yang terus meletup, tanpa dapat menemukan sebuah titik akhir, sebuah kepastian yang mengajakku mengitari ladang surgawi, ah... sudahlah, sampai kapanpun itu takkan pernah dapat terwujud, bagaikan rembulan yang meratapi kehadiran sang mentari. 

Lantai ini masih terasa basah dalam pijakanku, pagi ini hujan telah mengguyur, meresapkan dingin kesetiap insan. 

Aneh, setiap Hujan yang turun di pagi hari selalu menghanyutkan aku, menghanyutkanku dalam setiap pengharapan akan hadirnya dunia baru, yang pasti dunia itu akan merubah semua yang ada kini. 

Dinginnya udara ini masih tetap mengajakku bermain dengan impianku, dia memang selalu datang tanpa aku undang, dia memang satu - satunya temanku yang setia, yang selalu mau menemaniku disaat gundah menghujam melarut dalam asa-ku ini. 

Pagi ini aku melangkah memasuki gedung Universitas dimana tempat aku kuliah sehari-hari. Kebetulan hari ini jadwal kuliah aku paling pagi, yang memaksaku untuk bangun se-dini ini. Padahal tadi malam aku baru bisa memejamkan mataku lewat tengah malam. 

Rasa kantuk yang menyerang tak kuhiraukan lagi kini, dengan berjalan perlahan aku menyibak dingin pagi ini. Membelah kabut yang menggumpal berkelompok. 

T'lah banyak yang berubah dalam hidupku. Empat tahun sudah aku kuliah di Universitas ini. memang bukan waktu yang singkat untuk seorang Mahasiswa seperti aku ini. Namun di tahun ke empat inilah merupakan masa penentuan bagi kehidupan aku kelak, sebagai titik tolak aku menuju dunia baru. Bukan lagi seorang anak lelaki kecil yang hanya bergantung kepada orang tua, tetapi berubah menjadi lelaki dewasa yang bergantung kepada kemampuannya sendiri. 

Terkadang banyak hal yang membuat aku terangguk dalam ketidak mampuanku. Yang malah membuatku mematahkan asaku sendiri. Aku sadar, aku hanya manusia dengan daya nalar yang begitu terbatas, yang terkadang tak mau menerima jika apa yang aku lihat dan rasakan bertolak belakang dengan nalar-ku. 

Namun lebih dari itu, aku sadar terdapat banyak hal yang belum aku sadari keberadaannya. Dunia dimana aku tak mampu untuk dapat menyelaminya. 

Di benakku, lembar demi lembar harapan terus mengitariku, dia terus membujuk aku untuk memberanikan diriku meluapkan semua inginku, inginku untuk kehadirannya, merangkai cerita bersamanya. 

Namun itu tak semudah ucapan, terkadang aku hanya mampu terdiam menahan semua keinginan ini, sekuat hati menahan pedih dari sayatan-sayatan hati ini. 

Terkadang aku merasa cinta itu tak adil, tak selamanya apa yang kita beri juga sama porsinya dengan yang kita terima, atau malah sebaliknya. 

Namun haruskah kita mempermasalahkan itu, ironisnya, tak sepantasnya kita mempertanyakan apa dan bagaimana dalam menghadapi cinta, yang utama dalam cinta itu hanyalah sebuah perasaan yang begitu peka bagi hati kita. 

Semua ini sekedar intuisi dariku, untuk membuka wacana akan sebuah perasaan. 

Kini, aku telah duduk di depan ruang yang akan aku pakai kuliah pagi ini. suasana masih terlihat lengang, hanya beberapa gelintir mahasiswa yang aku lihat di setiap sudut kampus ini. 

Tak banyak yang dapat aku lakukan selain terdiam sembari menikmati dinginnya pagi ini. Tak kutemui temanku yang satu mata kuliah denganku kali ini. atau mungkin ini masih terlalu pagi, sehingga wajar saja belum ada yang hadir. 

Inginku (Cerpen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang