Dia Yang Terakhir
Cerpen : Mulia Maulalathif
Diliriknya gadis itu, dia sadar dia mungkin hanya bermimpi untuk itu, namun sebuah harapan yang telah lama diendapkan dalam hatinya tak pernah ia bersihkan.
Dalam diam dia terus mencari, mencari sebuah harapan. Dalam tumpukan sampah sebuah cinta yang telah lama di buang. Terkadang itu selalu membuatnya malah terhanyut didalamnya.
Waktu telah lama tergantikan, namun nama gadis yang sedang dia pandang itu masih terus tersimpan, dia tak mungkin bisa melupakannya begitu saja.
"Maafkan aku Ga, kamu memang tidak salah, namun keadaan yang telah memaksa aku untuk buat keputusan ini. Bukan aku tak menghargai empat tahun kebersamaan kita, namun aku merasa kita memang sudah tidak lagi sejalan, tak ada gunanya kita terus mempertahankan hubungan ini jika akhirnya harus ada yang terluka."
"Kamu tak tahu bagaimana terlukanya aku dengan keputusan mendadak kamu ini."
"Aku juga terluka Ga, keputusan ini sudah lama aku rancang dan sudah aku pikir matang, aku rasa ini adalah hal yang paling terbaik untuk kita berdua."
"Untuk kamu, bukan untukku..."
"Ringga, coba kamu pikir, dari pada kita ngelanjutin hubungan seperti ini terus, hambar. Ga ada gunanya, aku gak mau ngejalanin hubungan hanya pura-pura saja, kelihatan mesra di mata orang padahal sebenarnya enggak. Buat apa? Gak ada gunanya."
"Saat ini kita dalam masa jenuh saja Na... aku yakin beberapa bulan kedepan juga hubungan kita bakal normal lagi."
"Seberapa besar keyakinan kamu ? Aku gak yakin buat itu."
"Masih ingat di tahun pertama hubungan kita ? saat itu kita hampir saja putus, namun aku terus ngeyakinin kamu kalo kita bisa ngebenahi hubungan kita, lihat kan bagaimana hubungan kita itu sampai sekarang ?"
"Namun itu laen Ga."
"Laen gimana ?"
"..."
"Laen, karena sekarang ada Irwan."
"Ko kamu jadi nuduh gitu sih?"
"Aku gak nuduh?"
"Yang kamu ucap tadi ?"
"Sebenarnya yang berubah itu kamu, bukan aku, selama ini aku masih ngejalanin hubungan ini biasa saja. Namun semenjak kamu dekat dengan Irwan, semua berubah."
"Aku gak senang kalau kamu mulai menyangkut pautkan semua ini. Selama ini aku hanya menganggap Irwan hanya sebagai partner kerja aku aja, gak lebih."
"Seorang ketua dan sekretaris dalam panitia ospek gak pernah sampai sedekat itu."
"Ringga cukup! Pembicaraan kita sudah keluar jalur, gak lucu kamu ngebahas itu saat ini."
"Aku sudah lama mengenal kamu Luna, aku begitu paham dengan tingkah dan prilaku kamu, baik buruknya kamu, dan aku merasakan ada hal yang lain melihat kamu menyikapi kedekatan mu dengan Irwan."
"Terserah kamu mau nilai aku apa, yang pasti keputusan aku tak mungkin dapat aku ubah, awalnya aku ingin kita berpisah secara baik-baik, tapi kalau pemikiran kamu sudah melenceng seperti ini, aku gak tahu harus gimana. Maafkan aku Ga, aku rasa hubungan kita sampai disini saja."
"Tapi Na... "
"Sudahlah, gak ada gunanya saling debat lagi, sekarang sudah saatnya kita jalani hari kita masing-masing. Selamat tinggal Ga."
Itulah kata-kata yang terus membekas di hatinya, kata-kata yang begitu menyakitkan baginya namun enggan untuk di buang olehnya.
Namun yang lebih menyakitkan lagi baginya, adalah apa yang dia duga selama ini memang benar terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia Yang Terakhir (Cerpen)
Short StoryKemarin dia sudah berjanji kalau dia akan menghapus wujud Luna dari pikirannya, hal itu terus-menerus ia kemukakan kepada sahabat-sahabatnya yang terus membujuknya untuk bangun dari keterpurukan itu. Namun tak pernah terbayang olehnya kalau melupak...