Bab XXVI Harapan

917 109 14
                                    

Ketenangan setelah badai tidak pernah lebih baik dari badai itu sendiri. Setelah kekacauan itu, harus ada alibi untuk menutupinya, atau setidaknya, mencari kambing hitam yang bisa menampung semua masalah. Hanya Markus seorang yang akan memiliki pemikiran seperti itu. Tapi akan menyenangkan baginya jika si pembuat masalah sepaham dengannya.

Itu akan sangat menyenangkan.

Gideon sedang mencuci tangannya pada sebaskom air dingin yang dibawa Markus. Gerakannya santai, anggun dan halus, berbanding terbalik dengan kekacauan yang dibuatnya. Bahkan gayanya dalam mengeringkan tangan setelah membasuh, mau tak mau membuat Markus mengernyit, apa yang ada dalam pikiran tuannya yang membuatnya selalu bisa terlihat sangat tenang setelah membuat kekacauan hebat? Seperti, mencuci tangannya setelah hampir membunuh seorang perempuan tadi—seperti sekarang ini?

Markus tidak berani menyuarakan pikirannya. Biar semua menjadi sebatas pikiran sesatnya.

“Singkirkan jalang itu.” Gideon melempar kain lap tangannya tanpa menoleh pada lawan bicaranya.

Markus tidak segera menjawab. Tepatnya, dia tidak bisa melakukannya. Jika korban kebrutalan Putra Mahkota bukanlah bangsawan kelas tinggi, tentu tanpa berpikir panjang sekali pun, dia akan langsung menyanggupi. Tapi perempuan itu ... Ini berbeda.

Gideon menyadari keraguan bawahannya. “Ada apa?” Mata tajam itu berkilat aneh saat memandang Markus. Sisa-sisa kemarahannya masih tertinggal, dan jangan salahkan dia jika sesuatu yang buruk berlanjut.

“Jika kita menyingkirkannya, tidakkah Kerajaan akan mencurigai sesuatu, Yang Mulia?”

Ini pertama kalinya Markus menolak sebuah perintah. Tangan kanan yang amat setia itu benar-benar terlihat menentang. Bahkan mungkin akan mengajaknya berkelahi. “Haruskah aku pusing memikirkan itu?”

Markus tidak menyahuti, tapi membiarkan suasana ruangan jatuh pada titik beku terendah. Tak terelakkan jika keduanya akan bertarung setelahnya. Markus tidak akan mengalah. Hal ini tidak sama mudahnya seperti yang lalu-lalu.

“Lakukan saja seperti biasanya. Apa yang susah?” Gideon tidak mengindahkan pendapat berseberangan. Jika saja Markus tidak menyela, jalang gatal yang mencoba merayunya itu pastilah sudah mati dia cabik.

“Tidak, Yang Mulia.” Wajah Markus tak berekspresi, kembali seperti hari-hari lalu. Atau, mungkin dia bingung cara mengekspresikan kejadian yang baru berlangsung.

Berbanding terbalik dengan Markus, Gideon di sisinya memiliki wajah tegang. Paling tidak suka ketika perintahnya dipertanyakan, apalagi sampai ditentang. “Perintahkan Mata Kuning untuk menyingkirkannya.”

Mata Kuning merupakan basis mata-mata yang dibentuk Gideon secara rahasia, dan Markus mengepalainya. Kebanyakan dari tugas Mata Kuning lebih seringnya masalah pribadi Gideon. Tetapi baik itu anggota terhebatnya pun sendiri—yang sering menemui Markus—tidak pernah tahu tujuan tugas mereka selama ini yang lebih banyak menghapus jejak kematian seseorang.

Markus tetap tidak bereaksi selurus dengan tuannya. Bukan tidak setia, ini melewati batas. “Tidak, Yang Mulia.”

Gideon menarik napas berat, sisa-sisa kemarahannya terus terang masih ada. Apa perlu dia lampiaskan? “Apa maumu?”

“Nyonya Marchioness Foir adalah orang penting yang masih dibutuhkan dalam kerajaan. Jika dia menghilang secara misterius, tambang di wilayah kekuasaan Foir akan dihentikan. Ahli waris kedua akan mengambil alih, dan tentu sulit untuk meyakinkan kembali kerja sama yang sudah terjalin.”

Gideon mendengus tak suka. “Lalu, apa??”

“Kita tidak bisa membuatnya mati, Yang Mulia.” Markus berbicara dengan mimik serius, tak tergoyahkan.

Karena Aku Antagonis dalam Cerita Ini!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang