Unconscious

6.4K 1.2K 128
                                    

"Norak, ih!" Mei terbahak menatap bayangan dirinya dicermin.

Kaus berwarna putih dengan gambar maskot Madam Rose di bagian depan dan logo di punggung. Mei mengikat ujung kaus bagian tengah dan menyelipkan ke dalam lalu memadukannya dengan rok jeans di atas lutut.

"Masa kayak anak abege! Enggak banget selera Rose!" Lagi. Perempuan yang tengah bercermin itu mendumal. Ia melepas kaus, menyisakan rok dan tube top hitamnya.

"Not bad-lah." Amiko sama mencoba kaus pemberian Rose.

Mei berbalik menatap lelaki yang duduk di tepi ranjang dengan kaus sama persis. Ia tertawa menyaksikan pria yang mengusap kaus di bagian dada. "No, no, no! Kayak anak SMA!"

Amiko berkelit, menampik tangan Mei yang memaksanya untuk melepas kaus pemberian Rose. Ia naik ke atas dan menepi sampai kepala ranjang. Perempuan itu merasa kalah telak. Wajah lelaki ini mendukung pakaian apa pun yang mau dipakai.

Lelah menghindar, pria berambut berantakan itu menyentak pergelangan tangan Mei lalu memutar posisi. "Ini masih sore. Jangan macam-macam, Nyonya," candanya seraya menahan tawa.

Mei mengerling jengkel. Ia meraih bantal di sisi kanan kepala, berniat memukul kepala dengan otak liar sesore ini. Namun, aksinya terhenti begitu bel pintu depan terdengar.

"Siapa?" Mei mendorong tubuh Amiko dan bergegas menyambar kemeja putih di sandaran kursi.

Amiko hanya mengedik dan memilih mendahului perempuan yang sibuk mengancingkan pakaiannya. Pria itu terdengar berbicara dengan seorang perempuan di pintu depan. Samar-samar Mei mulai mengenali pemilik suara itu. Mata perempuan itu mengerjap, berusaha menata pikiran sambil memasukkan mata kancing terakhir. Dania?

Nama yang melintas di kepala Mei lantas membuat ia berlari tergesa ke depan. Kaki bercat kuku beningnya bahkan sampai terkantuk kaki kursi saking gugupnya. Ia berjalan terpincang-pincang dan berharap editor itu tak mengatakan apa pun perihal ajakan minum kopi yang sebenarnya tak pernah terjadi.

***

Sekotak donat berbalut cokelat warna-warni tergeletak di meja. Belum ada yang berminat menyentuh camilan berat yang cantik-cantik itu. Dania datang hanya sebentar, menyampaikan maaf atas perihal ajakan minum kopi yang batal mendadak, dan membiarkan Mei pulang sendirian. Lalu, ke mana Mei pergi sampai pulang terlambat malam itu?

Amiko tak mendesak, pun tak bertanya. Lelaki yang masih mengenakan kaus Madam Rose itu hanya duduk di ujung sofa seraya bersandar. Ia menunggu perempuan yang sedang mengusap wajah pelan lalu beralih menatapnya dengan tatapan nelangsa. Oh, Amiko benci dengan tatapan seperti itu. Egonya selalu luntur ketika seorang perempuan menatap dengan penuh iba dan mohon pengertian.

"Aku ... tidak ada maksud bohong. Aku cuma ...."

Amiko mendesah pasrah. "Enggak usah dibahas. Kamu pasti punya alasan yang memang sebaiknya aku enggak tahu."

"Aku pergi menemui Brian."

Hening. Dari sekian juta manusia di Jakarta ini, kenapa harus nama itu yang harus Amiko dengar? Susah payah ia menahan kesal dengan segala gangguan dari mantan kekasih istrinya dalam rumah tangga ini, tapi sekarang ia dengar pengakuan Mei menemui pria itu.

Jangan sekarang. Ya, jangan sekarang. Amiko tak mau hari ini berbuntut pertengkaran panjang hanya karena salah paham. Ia memilih kembali menekan ego dan menarik napas dalam tanpa suara. Lalu, bunyi ponsel di meja pantry menyelamatkannya untuk menghindar sementara dari pembahasan ini.

Amiko bangkit dari sofa, meninggalkan Mei yang masih duduk menunduk memainkan buku jarinya di atas pangkuan.

***

Amiko, Te Amo!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang