Bukan Pilihan Abah

10 3 0
                                    

Langkah kaki Kia terhenti tepat di depan pintu, kemudian dia mengintip dari celah jendela rumahnya. Persis seperti dugaannya, di ruang tamu keluarga Ust. Ali Rohmat sudah terdapat keluarga besar yang duduk berjejer di sofa.

Dengan ekspresi wajah sedih dia bersiap untuk membuka pintu. "Assalamu'alaikum ...," salamnya dengan nada lemas tak seceria biasanya.

Semua wajah yang berada di sana memperhatikan Kia dengan tatapan bertanya. Mereka sudah tak sabar menunggu Kia pulang dan melihat hasilnya.

"Maaf ...," ucapnya menggantung.

"Gak apa-apa, nanti pas SMA kamu harus belajar yang giat. Supaya nanti nilai kamu bisa sesuai dengan target kamu. Kamu sudah ikhtiar, Nak." Ummah Fatimah yang paling peka diantara keluarga lainnya. Dengan melihat wajah putrinya yang tak sumringah, beliau bisa menebak apa yang sedang terjadi.

"Maaf, Ummah. Tapi Kia dapet peringkat satu di sekolah," ucapnya dengan senyum lebar. Dia berhasil mengejar targetnya. Tak sia-sia selama ini dia berusaha dan berdoa, Alhamdulillah Allah mengabulkannya.

"Kamu ngeprank Ummah, Dek?" tanya Adiba, kakak perempuan Kia yang biasa dia panggil Mbak Diba.

"Ndak," Kia menggelengkan kepalanya, "Kia cuma mau ngasih kejutan aja buat semuanya. Mana berani Kia ngeprank Umma?" ucapnya mengelak tuduhan kakaknya.

"Lain kali jangan gitu lagi, Ummah hampir nangis, tuh, gara-gara kamu. Awas aja kalo kamu buat Ummah nangis, Mas gantung kamu di pohon mangga depan rumah," ucap Mas Alif menggoda ummahnya dan adeknya.

"Siapa yang nangis? Ummah udah tau, kok, kalau Kia itu pasti bisa. Ummah percaya Kia bisa." Ummah mengelak perkataan Alif. Jujur, Ummah tadi hampir tertipu dengan aksi Kia, beliau takut jika putrinya gagal.

Abah memperhatikan semua keluarganya dengan sumringah, beliau bahagia. Sudah sembilan tahun mereka seperti ini. Menunggu Kia pulang dari sekolah untuk melihat hasil ujiannya, dan hasilnya selalu memuaskan. Kia selalu mendapatkan yang terbaik. Semua anggota keluarga selalu dibuatnya bahagia. Dia selalu berhasil membanggakan keluarga. Tak pernah sia-sia mereka duduk di ruang tamu berjam-jam untuk menunggu hasilnya.

Kia menatap abah yang sedang tersenyum menghadapnya, dengan ragu Kia memanggilnya, "Abah?"

"Iya, kenapa?" tanya abah masih dengan senyum tenangnya.

"Kia ingin sekolah di SMA negeri, Bah," jawab Kia dengan mantap.

"Kamu serius?" tanya abah lagi, tetapi kini tidak dengan senyumannya. Terpampang jelas di wajah abah, bahwa beliau tak setuju dengan perkataan Kia.

"Iya, Bah. Kia ingin bersekolah di SMA negeri. Sudah lama Kia ingin bicarakan ini dengan Abah, tapi Kia belum berani," ucap Kia penuh dengan kejujuran. Semua senyuman penghuni ruang tamu tersebut luntur, mereka tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Kamu serius, Dek?" tanya ummah lembut pada Kia. "Kamu gak sekolah di yayasan saja? Kamu yakin bisa menyesuaikan keadaan?" tanya ummah serba khawatir.

"Kia serius, Mah. Kia sudah menginginkan ini sejak lama, Mah." Jujur dan tulus, itu yang dapat Ummah Fatimah dengar dari Kia. Tapi, semua persetujuan ada pada perkataan abah. Semua yang ada di sana tak bisa berbuat apa-apa.

"Abah tidak setuju," jawab abah tegas. "Jangan berharap Abah akan setuju." Kemudian abah menatap Kia dengan tatapan tak bisa diartikan.

"Ya sudah, kita pergi makan dulu, yuk," ajak ummah pada semuanya, "Kia pasti lapar, kan? Tadi kan habis mikirin soal, pasti tenaganya terkuras banyak, tuh," ucap ummah sembari merangkul pundak putrinya. Beliau tahu bagaimana perasaan putrinya saat ini, tetapi putrinya tak mau memperlihatkan rasa kecewanya di depannya.

"Eh, iya, Ummah. Adiba juga laper banget, nih. Nungguin Kia yang gak pulang-pulang," sahut Adiba untuk mencairkan suasana.

"Iya, nih, Ummah. Alif malah nunggunya dari jam 7 pagi, capek gak, tuh, bayangin." Alif menggoda adiknya yang jelas sedang kesal.

Kia semakin dibuat kesal dengan celotehan Alif, "Kalo capek, ya pulang aja. Lagian Mas kesini juga sendiri, gak mau bawa Alya sama Mbak Yana."

"Kamu itu ngomongnya. Emang keponakanmu sama Mbak iparmu itu barang? Dibawa-bawa segala." Sekarang giliran Alif yang dibuat kesal dengan ucapan adiknya.

Kia yang mengerti perubahan Masnya pun langsung menunduk, "Maaf, Mas." Dia mendongak kemudian menyengir.

"Udah-udah, kalau ngomong terus kapan makannya?" ucap Ummah menengahi.

"Siap, Ummah ...," seru mereka serempak.

Dengan baris berurutan sesuai usia, mereka berjalan menuju meja makan. Adiba yang berada di barisan paling belakang dengan Kia, kemudian merangkul Kia. "Mbak dukung apapun keinginanmu. Mbak gak akan ngelarang. Tapi semua tergantung abah, kamu ngerti, kan?" bisik Adiba tepat ditelinga Kia.

Kia yang mendapat perlakuan seperti itu kemudian tersenyum. Dia menoleh pada kakak perempuannya, "Makasih," ucapnya sumringah.

***

"Abah ndak pingin berubah pikiran?" tanya ummah lembut sembari meletakkan teh hangat di meja.

"Keputusan Abah memang seperti itu, Mah. Abah tak ingin jika Kia menjadi gadis yang tak mengerti agama. Lebih baik dia sekolah di SMA Islami saja."

"Abah?" ummah menghadap ke arah abah, "Abah tahu apa alasan Kia belajar sangat keras?"

Tak ada suara, abah hanya diam dan menggelengkan kepala. Jujur, abah hanya mengira Kia belajar dengan keras itu untuk membanggakan keluarga. Kia ingin menjadi juara kelas. Satu lagi, Kia ingin mewujudkan mimpinya. Hanya itu perkiraan abah.

Dengan sabar, ummah menepuk pelan paha abah. Dengan suara lembut ummah berkata, "Kia ingin mewujudkan keinginannya." Ummah tersenyum lembut pada abah.

"Keinginan apa?" tanya abah tak mengerti. Selama ini, anak-anak lebih sering menghabiskan waktunya dengan ummahnya, jadi wajar saja jika abah tak mengerti apa yang putrinya harapkan.

"Banyak yang Kia inginkan, salah satunya, ya, bersekolah di SMA Negeri. Itu salah satu keinginannya."

Abah diam memikirkan perkataan Ummah, beliau masih bimbang. "Abah belum bisa memutuskan. Masih ada waktu satu minggu, kan?"

"Iya, Bah. Tolong dipikirkan lagi, ya, Bah. Kasihan anak kita kalau tak bisa mewujudkan keinginannya. Jangan sampai dia menyesal nantinya," ucap ummah dengan senyuman. Ada rasa sedikit lega di hati ummah. Semoga keinginan Kia terkabulkan.

"Akan Abah pikirkan."

•••

Assalamu'alaikum ...

Tolong bantu Vote, yaa
Karena satu vote dari kalian sangat berharga bagi saya.

Jangan lupa komen juga
Jika saya ada salah, mohon diingatkan karena satu komentar dari kalian sangat bermanfaat bagi saya.

Terima kasih buat yang udah baca KIANO♥

UmiNisa9

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 04, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KIANOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang