1

6 1 0
                                    

Duduk meringkuk sembari memeluk kedua lututnya. Dia masih setia menatap langit menunggu keajaiban yang akan mengubah hidupnya. Sudah dua tahun dia menunggu. Dan malam ini, dia yakin harapannya akan datang.

Malam semakin larut. Udara di balkon rumah sudah semakin menusuk tulang. Entah sudah pukul berapa sekarang, tubuhnya menggigil kedinginan. Biasanya tidak seperti ini, walaupun tidur tanpa alas apapun gadis itu tidak akan runtuh. Dia tidak sekuat biasanya.

Tubuhnya sudah lemah. Namun, dia memaksa matanya untuk terjaga. "Aku mohon ... kali ini saja kau datang untukku." Gadis itu memohon penuh harap. Dan tak berselang lama cahaya terang turun dari langit, gadis itu tersenyum lembut.

Bintang jatuh. Setelah mengucapkan keinginannya dia menutup mata tenang. Setidaknya penantiannya tidak sia-sia.

                                  *****

"Nana!" Gadis yang merasa di panggil itu menoleh. Dia sedikit berlari menghampirinya dengan nafas beradu. Dia Wulan. Teman satu-satunya yang Nana miliki. Gadis dengan rambut panjang dan wajah bermakeup sederhana itu berjalan beriringan dengannya sembari membawa bungkusan di tangan.

"Lo semalam kemana aja? Bukan sengaja gak datang ke acara kelas kita 'kan?" Mereka berjalan menuju kelas. Menjadi murid SMA bukanlah hal yang menyenangkan. Banyak kegiatan menguras waktu seperti yang ditanyakan Wulan tadi.

"Aku sibuk, Lan." Nana bukanlah gadis yang bisa keluar masuk rumah seenaknya seperti anak-anak lain. Dia itu berbeda. Namun, dia tidak istimewa. Itulah alasannya mengapa dia hanya memiliki sedikit teman.

Jam pulang sekolah berbunyi. Hari-hari di dalam ruang sekolah bernama SMA Nusantara ini sangat membosankan seperti biasanya. Hanya belajar-istirahat-belajar-pulang.

"Na, lo mau berangkat kerja 'kan?" Nana hanya mengangguk meng-iya kan sambil memakai helm.

"Nah, kebetulan. Gue nebeng ya? Tenang nanti gue bayar kok." Wulan langsung mengambil helm dan duduk di jok belakang motor.

Nana mengendarai motornya keluar dari lingkungan sekolah. "Kamu mau antar kue kemana?" tanyanya karena penumpangnya ini belum memberitahu.

"Mmm ... lo ikut arahan gue aja." Nana menatap Wulan dari kaca spion penuh selidik. Dia bukanlah tipe orang yang mudah menghapal jalan.

Seperti tahu apa yang temannya pikir, dia menunjukkan ponsel yang terpampang rute jalan.
"Gue pake GPS. Kali ini gak bakal nyasar kok, tenang aja."

Sudah satu jam perjalanan dan mereka masih berputar-putar mencari alamat rumah si pemesan.
"Lan, kamu beneran tau rumahnya 'kan?" Nana menghela napas lelah. Jam kerjanya hanya sampai jam 7 malam. Dan sekarang malah harus tersesat bersama Wulan.

"Aku tahu kok, Na. Udah ada alamatnya jelas lagipula tadi ...."

"Bukan alamatnya ..." Nana menghentikan laju motornya lalu menoleh untuk berbicara dengan Wulan. "tapi cara baca GPS-nya. Kamu tahu gak?"

"Enggak, Na," Wulan hanya tersenyum kikuk melihat wajah kesal Nana.

"Kita tanya orang aja. Aku minta ongkos lebih untuk ini ya, Lan." Mendengar itu Wulan merengut kesal. Memang ini kesalahannya, tapi tidak perlu ongkos lebih 'kan?

Jam 7 malam tepat Nana sudah sampai di rumahnya. Melihat kekacauan membuatnya menghela napas. Sekarang bukan waktunya untuk istirahat. Nana mulai membersihkan semuanya. Dari membersihkan meja, menyapu dan  mencuci peralatan dapur semua selesai dalam dua jam.

"Mana uangnya?" Tagih Selena ---Ibu tiri Nana--- yang keluar dari kamar sambil memakai masker kecantikan berwarna putih.

Nana mengeluarkan hasil uang hari ini dari saku kantongnya.
"Kenapa cuma segini?! Kamu pasti umpetin di dalam tas ya!" Teriak Selena ketika menghitung uang hanya 80 ribu dan menarik kasar tas sekolah Nana yang berada di atas kursi.

"Enggak ada, Bu. Hari ini orderan sepi. Tadi Nana juga harus anter pesanan kue teman." Terang Nana sambil berusaha merebut tasnya.

"Ada apa sih, Ma? Fans aku pada kabur nih denger suara Mama." Kesal Gladys ---saudara tiri Nana---seraya bermain ponsel.

"Lihat nih! Masa hari ini cuma dapet 80 ribu! Mana bisa buat beli cream kecantikan Mama, Sayang" Selena memeluk anak gadis kesayangan sambil mendelik kesal melihat sikap cuek Nana.

"Ya ampun, Mama. Anak gak guna kayak dia gimana bisa cari uang yang banyak! Bisanya nyusahin keluarga aja!" Ejek Gladys. Umur mereka memang sama dan mereka juga satu sekolah. Tetapi sejak kecil mereka selalu bertengkar. Bukan bertengkar, tapi Gladys yang selalu mengganggunya.

Nana berlalu pergi sambil menggeleng kepala frustasi.  Kemarahan ibu dan saudara tirinya memang sudah menjadi makanannya setiap hari. Belum lagi saudara tiri yang lain.

Nana meletakkan tasnya, mengambil baju ganti bersiap untuk mandi. Loteng yang dulunya gudang kini menjadi kamar sederhana semenjak Ayahnya meninggal. Kamar yang sering bocor ketika hujan dan dingin angin malam mudah sekali masuk melalui sela-sela kamar yang memang sudah tua.

"Sudahlah. Sekarang waktunya belajar." Selesai mandi dia duduk bersila di atas kasur menyiapkan beberapa buku bersiap untuk mengerjakan tugas.

Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Sudah waktunya untuk tidur. Namun, kegiatannya terhenti ketika mendengar suara ketukan dari luar jendela kamarnya. Nana menghiraukannya dan mencoba untuk beristirahat. 

Namun, suara itu semakin lama semakin mengganggunya. Karena penasaran, gadis itu membuka jendela dengan sedikit ancang-ancang, takut jika itu bukanlah orang baik. Hanya bermodalkan sapu serta nyali. Nana memberanikan diri berjalan berjinjit mendekati jendela.

Orion | Hope Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang