3

1 1 0
                                    

Jam istirahat berbunyi. Semua orang berbondong-bondong memberi makan cacing di perut mereka yang sudah kelaparan. Nana dan yang lain juga sudah duduk dengan pesanan mereka masing-masing. Dirga yang duduk di depan Wulan dengan Archer di depan Nana.

"Jadi ... sejak kapan kalian kenal?" Tanya Wulan antusias seraya menopang kepalanya dengan kedua tangan di atas meja. Seperti gaya salah satu girl band yang pernah berjaya pada masanya.

"Sejak kecil," lontar Archer senang.

"Nana ... kenapa lo gak pernah cerita sama gue kalo punya cowok seganteng dia?!" Bisik Wulan penuh penekanan.

Nana diam. Dia ingin tahu sampai mana orang aneh ini bersandiwara.

"Kalo lo emang kenal Nana dari kecil. Apa hal yang paling dia suka?" Tantang Dirga. Nana sedikit tersenyum sinis. Dia pasti kebingungan sekarang.

"Majikan suka bintang," Nana terdiam kaget. Tidak ada orang lain yang tahu kalau dia suka bintang selain Bundanya.

"Nana suka bintang?" Beo Dirga bingung. Setahunya Nana itu tidak suka semua hal yang berkaitan dengan benda langit.

"Lo salah, Ar. Nana itu cuma suka sama Herbo ---boneka sapi pemberian Bunda---." Ungkap Wulan membenarkan pernyataan Archer tadi. Mendengar itu Nana bisa bernapas lega.

Alis Archer berkerut. "Tapi Majikan menunggu sampai malam hanya untuk melihat ...."

"Lagian lo kenapa manggil Nana pake sebutan 'Majikan' sih? Panggilan kesayangan lo?" Sela Wulan penasaran disusul anggukan dari Dirga.

"Karena Majikan memang Majikan aku," jawab Archer.

"Gue tau! Pasti lo anak pembantunya Nana 'kan? Ngaku lo! Mana mungkin Nana mau pacaran selain sama gue." Tebak Dirga penuh kebenaran.

Nana menggelengkan kepala heran. "Lan, pulang sekolah nanti sibuk gak?" Sela Nana.

"Enggak. Emang kenapa? Tumben lo nanyain kesibukan gue," ujar Wulan setelah tadi tatapannya berpusat pada pembicaraan Archer dan Dirga.

Sebelum Nana menjawab, ada dua gadis yang datang ke meja kami dengan malu-malu sambil membawa kotak berwarna pastel di tangannya.

"Hai, Kak Dirga," sapa gadis yang membawa kotak.

Dirga yang merasa ada penggemar datang pun mulai memasang tampang tampannya. "Hai, Cantik. Ada apa nih? Bawa kotak segala lagi"

Gadis itu menyodorkan kotak dengan malu. "Emm ... ini buat Kak Dirga. Aku buat sendiri loh Kak." Dirga mengambil lalu membuka kotak yang berisi kukis coklat.

"Oh ya? Nanti pulang sekolah aku antar, ya? Tanda terima kasih." Dirga mengedipkan mata yang dibalas dengan tatapan takjub semua yang melihatnya.

"Dasar, playboy." Umpat Wulan lirih setiap melihat tingkah menjijikan Dirga. Dia memang terkenal di kalangan para siswi. Tetapi, kalau bersama dengan Nana dan Wulan. Dia menjadi pria manja dan menyebalkan.

"Lo mau apa tadi Len?" Tanya Wulan.

"Mau minta tolong buatin kue kesukaan Kakek. Bisa 'kan Lan?" Pinta Nana ragu.

"Ya pasti bisalah! Tumben-tumbenan 'kan Nana minta tolong sama gue." Timpal Wulan semangat.

"Gak usah minta tolong sama dia Na. Nih, kasih kue ini aja. Gue kasih, PER-CU-MA." Celetuk Dirga sembari memberi kotak tadi yang sudah di bukanya.

"Kuenya enak" Archer mencomot satu kukis dari kotak yang akan diberikan untuk Nana di atas meja.

Dirga memukul lengan Archer kesal. "Lo gimana sih! Itu buat Nana ah elah,"

"Gak apa-apa, Dir. Makan aja, itu emang buat kamu 'kan?"

Setelah selesai membuat kue bersama Wulan, Nana bergegas pulang karena hari sudah semakin sore. Hari ini, dia tidak bekerja. Karena membuatkan kue untuk Kakeknya. Pasti Kakek lelah karena memotong pohon yang tinggi.

Dia sudah sampai di depan rumahnya. Memang hanya dahan di atas pohon saja yang ditebang. Sayang jika pohon sebesar itu harus ditebang. Nana memperhatikan Kakeknya sejenak. Dilihatnya pria yang sedang berdiri dengan kuat sembari membawa beberapa peralatan memotong. Walaupun umur sudah menginjak kepala lima. Nyatanya, pria itu masih bisa memanjat pohon tinggi.

"Kakek, apa sudah selesai?" Nana menghampiri Kakek setelah puas memperhatikan.

Kakek itu menoleh sambil melepaskan sarung tangan yang sudah sobek di beberapa bagiannya. Pria itu tersenyum melihat gadis yang berdiri tak jauh darinya sudah memakai seragam SMA dengan keringat di dahi. Ternyata dia sudah sebesar ini.

"Sudah. Sekarang, tidurmu tidak akan terganggu lagi." Ujar Pak Ahmad. Dia sudah menganggap Nana seperti putrinya sendiri. 

Dulu, mereka sering bermain bersama. Namun, sejak kedatangan ibu tiri Nana. Gadis itu menjadi lain. Bukan Nana yang Pak Ahmad kenal. Pak Ahmad tahu betul keadaan apa yang sudah gadis muda itu lalui. Sekarang, dia sedikit tenang bisa melihat anak gadisnya baik-baik saja.

"Kakek pasti lelah. Tapi, Vega gak punya apa-apa buat dikasih ke Kakek." Pria itu memeluk pundak Nana dengan tenang. Membawanya ke kursi taman sebelah rumah.

"Apa kamu baik-baik saja? Mereka tidak menyusahkanmu 'kan?" Tanya Kakek sedikit khawatir.

Nana sedikit tertawa. "Kakek, aku baik-baik saja. Lihat? Vega sudah besar sekarang." Nana berdiri lalu meregangkan tangannya. Memperlihatkan tubuh tinggi dengan kulit putih dan rambut penuh dengan keringat.

Pak Ahmad hanya tersenyum. Dia berharap semoga ada yang menjaga gadis ini.

Nana kembali duduk dengan ekspresi senang, "Tapi ... Vega punya sesuatu untuk Kakek." Nana mengeluarkan sekotak kue dari dalam tas dan memberikannya kepada Kakek.

"Kue ini ...." Kakek hampir menangis melihatnya. Itu kue sama yang pernah dibuat istrinya. "bagaimana kamu membuatnya? Kamu itu seharusnya sekolah, bukannya membuat kue untuk Kakek" Pak Somad memeluk Nana haru. Sudah lama sekali dia tidak memakan kue yang memiliki rasa sama seperti buatan istrinya dulu.

"Kakek ingat anak perempuan yang selalu mengikutiku selepas pulang sekolah?" Tanya Nana.

"Gadis kecil yang selalu bermain ponsel itu? Dia sangat cerewet, sekarang pasti lebih cerewet lagi 'kan?" Tebak Kakek dengan terkikik geli.

Nana ikut tertawa, "Dia Wulan, Kek. Orang yang membuat kue ini," jelas Helena.

Orion | Hope Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang